Senin, 25 Januari 2010

AAARGH!! DAMN!”

(Makan Hemat ala Anak Kost)


Splashh! JDERR!!

Petir masih menyambar-nyambar, disertai hujan lebat yang turun sejak tadi membuat sore ini terasa bagaikan malam hari, gelap.

Kulirik jam weker yang tengah berdiri di meja belajarku. “Hmm … masih jam 4 sore, aku mau tidur lagi,” gumamku dalam hati. Tapi sesaat kemudian aku dikagetkan oleh gedoran di pintu kamar, “Siapa?” tanyaku sambil mengerjap-kerjapkan mata karena masih susah untuk terbuka lebar. Maklum … baru bangun. “Rose, Mbak,” jawab suara di balik pintu. “Ada apa?” tanyaku kemudian setelah membuka pitu kamar. “Ntar Mbak Dyah jadi ikut aku ama Chan-chan beli mie ayam apa nggak?” “Hmm … ya udah. Tapi jam berapa?”, “Sebelum maghrib aja, Mbak … sekitar jam 5 lebih seperempatan gitu,” ujar Rosecha mantap.

***

Pukul 5 hujan udah mulai reda. Tepat jam 5 lebih seperempat kita mulai keluar dari kost dan melancarkan aksi berburu mie ayam yang sudah kita rencanakan mulai kemarin pagi. Rosecha yang punya ide cemerlang itu, “Makan mie ayam murah di sebuah warung yang udah terpercaya rasanya,” ujarnya kemarin.

Tapi kenyataan selalu tak seindah bayangan kita, penjualnya bilang udah mau tutup. So, kita tidak jadi makan di warung tersebut.

Kita pakai rencana B. Makan mie ayam di lesehan dekat tempat les kita, lumayan murah kalau disbanding dengan warung yang akan kita tuju tadi, satu porsi hanya Rp 3.500,- enak pula.

Tapi yang namanya bad day, ya kayak gini nich. Sial! ‘Mas penjualnya’ masih menata tempat jualan yang (lumayan) basah karena hujan deras sore tadi.

“Waa … bakalan lama nech,” ucapku pada Rose dan Chan-chan. “Iya, mana belum ditambah ama masak mie-nya lagi …” Rose mencibir.

“Ke ‘mie ayam Romantic’ aja yuk!” Chan-chan mengusulkan.

Sebenarnya firasatku udah gak enak, mie ayam dengan nama sekeren ini kok sepi?? Pasti kalau gak rasanya kurang mantap yak arena mahal …

Tapi kita bertiga udah terlanjur duduk di sana, mau tidak mau harus menghadapi kenyataan. Yach … siapa tahu itu cumin firasatku doank.

***

“Lama banget sih masaknya, belum sholat maghrib nih!” Rose mulai ruwet karena jam udah nunjukin pukul 6 petang. “Gak perlu ruwet, kalau mau pulang, pulang aja sana. Biar minumanmu buat mbak Dyah dan mie-mu buat aku aja,” Chan-chan tak mau kalah.

Saking lamanya kita nungguin mie yang gak ada kabarnya tersebut, sejak tadi kita bertiga selalu menghibur diri dengan bercanda dan bahas macam-macam.

Akhirnya mie yang kita nanti-nanti (sampai kelaperan) datang juga. Woops … Damn! Ini mie ayam udah gak ada daging ayamnya, eeh … tambah gak ada sausnya lagi. Di setiap meja cuma ada kecap manis, garam, dan kecap asin.

Damn (lagi)!! Rasanya enak sih … tapi gak seperti mie ayam-mie ayam yang biasanya aku makan, mana kuahnya dari kadu yang dikasih air hangat.

“Deuh! Mana sih sausnya, kalau kayak gini aku gak bisa makan!!” Rosecha mulai gak bisa ngredam emosi. “Ya itu gunanya kecap asin. Sebagai pengganti saus, gini caranya,” Chan-chan netralin suasana sambil menunjukkan proporsi pencampuran bumbu. Sementara aku mengabaikan semua hal yang terjadi di depanku, tetap ku lahap mie ayam yang kurang membangkitkan selera itu sampai habis.

***

“Pak, mie ayam 3, berapa?” tanyaku pada penjualnya saat kami udah selesai makan. “Rp 21.000,- Mbak.”

“Damn!! Tu khan, sesuai perkiraanku tadi!” makiku dalam hati. Tapi aku segera mengalihkan pikiranku dan kembali bertanya, “Kalau es the 2 berapa?”, “Rp 3.000,-“

“Berapa semuanya, Mbak?” tanya Rosecha penasaran. “Rp 24.000,- Bayar pakai uangmu dulu ya? Ntar kita ganti,” jawabku singkat. “Yups. Totalannya ntar di kost,” Chan-chan menimpali.

Setelah Rosecha membayar mie ayam kita bertiga, kitapun bergegas pulang. Tapi tiba-tiba Rosecha menyeletuk, “Bener aja sepi, harganya mahal. Dan pantes aja mahal, yang beli di sini orang-orang China yang kebanyakan bermobil. Walau gak banyak, tapi lihat deh!”

Kulihat 2 buah mobil terparkir di depan warung mie ayam Romantic, yang satu sedan berwarna biru cerah dan satunya lagi avanza hitam.

“Weleh-weleh … anak kost level tinggi nih kita. Hehehe …” candaku menggoda mereka berdua. “Huh!! Apanya yang level tinggi?! Level sial baru bener!!” ujar Rose sewot.

Hhhh … sungguh bad day hari ini. Damn! Bertubi-tubi menimpa anak kost yang sedang penghematan seperti kita.


~&^&~




A true story by:


e-nDa d’LieR

Kamis, 21 Januari 2010

Gara2 Ngecengin Cleaning Service


Kebiasaan anak kost sepertiku saat gag ada jadwal belajar dan tersedia waktu yang cukup luang, pasti dimanfaatin sebaik-baiknya buat ngelakuin kegiatan apapun sesuka hati. Yach … pokoknya bener2 bebas sebebas-bebasnya. Kayak aku dan temenku ini contohnya, saat gag sedang belajar, kita berencana untuk jalan-jalan. Lumayan khan malam2 keliling kota sambil ngukur jalan?? Hehehe …

Tapi don’t worry, malam ini aku gag berencana buat ngabisin bensin, melainkan mengunjungi salah satu pusat perbelanjaan di kotaku.

* * *

“Ner, kamu mau belanja ya?” tanya temenku, Nadia saat kami baru tiba di supermarket tersebut. “Nggak. Aku cuma mau beli sapu tangan gambar Spongebob.”. “Halaaah …, gitu aja lagaknya kayak orang sok mau belanja banyak. Lagian beli sapu tangan jauh amat?”, ”Masalahnya itu sapu tangan cuma ada di sini doank, Nad. Tapi ntar kita keliling dulu ya? Siapa tahu ada barang2 yang kita butuhin buat study tour minggu depan.” “Okelah kalo begitu …”

* * *

“Yuk, kita keliling!” ajakku pada Nadia seusai menitipkan jaket dan sapu tangan yang beru kubeli di penitipan barang. Baru beberapa langkah, diujung persimpangan rak tepatnya, kami dikejutkan oleh kehadiran seorang cleaning service yang sedang ngepel di sekitar rak barang2 elektronik. Dia sempat tersenyum setelah melihat ekspresi kagetku dalam sepersekian detik lalu melanjutkan pekerjaannya.

Aku dan Nadia sampai di rak bagian karpet, “Nad, sumpah itu cleaning service cakep banget. Kalau kayak gitu, pasti supermarket ini rame, khan ada yang untuk cuci mata. Hehehe …” ujarku mengagumi. “Lah! Kamu itu yang dicari tampang mulu, gag peduli banget dia kerja apa dan ngapain, yang penting cakep. Lihat Ner, dia itu CS!”
”Apa salahnya? Khan cuma ngefans, yang penting gag suka beneran. Wekk …” Kali ini, Nadia no respect, dia sama sekali tak berpaling untuk menatapku. Hhhh … sia2 deh kujulurkan lidahku selama beberapa detik, mana udah kayak anjing

Nadia tetap eksis pada karpet2 itu, dia sepertinya tertarik ingin membeli, “Nera, lihat dech! Karpet mini ini harganya Rp 20.000,-. Beli yuk, buat ditaruh di kamar kost.” “Lah, aclak! Beneran Rp 20.000,- ta? Kok murah ya?” “Diskon kalee…” mata Nadia langsung bersinar-sinar saat menyebut kata diskon. Aku penasaran, kulihat rak karpet yang satunya, kali ini bagian big size. What??! Rp 175.000,- “Mahal bener?!” ucapku nyeplos. “Apanya yang mahal?” Nadia penasaran. “Ini karpet dua kali ukuran dari yang mau kamu beli khan? Kok mahal bener? Seharusnya harganya juga dua kalinya donk. Malah kalau bisa satu setengahnya,” aku mulai ruwet.

Nadia yang ikut-ikutan penasaran melihat daftar harga di karpet yang tadi dia inginkan, “Beneran Rp 20.000,- kok.” “Coba aku lihat, jangan-jangan $ 20.000 …” “Mana ada orang mau beli kalau tulisannya dolar?? Ini bener rupiah loh!”. Karena penasaran, aku ikut lihat harga karpet tersebut, “Eh, ada lipatan nich …”. Setelah kubuka lipatan itu, betapa kagetnya kita bahwa ternyata dibalik lipatan kertas itu ada sebuah angka 1. “Wakakkakaa …” sontak kami ngakak bareng, dasar dodol, Rp 120.000,- … anak kost mana yang mau beli???

* * *

“Aaah … capek. Kita lihat di bagian obat2an yuk! Sambil ngecengin Mas CS yang tadi,” ajakku pada Nadia setelah kita muter2 supermarket dan dua kali ketemu cleaning service cakep itu. “Yuk, aku juga pengen beli vitamin titipan ade’ kostku.”

Ternyata aku salah, CS itu gag ngepel di bagian obat2an. Mungkin dia kebagian job ngepel di bagian dalam supermarket, maklum … bagian obat2an itu letaknya di sebelah pintu masuk, yach … bisa di bilang ini bagian luar.

Ya udah, ku abaikan Mas CS di manapun dia sekarang dan kita mulai berburu vitamin -seperti yang tadi telah di sebutkan Nadia- sambil bercanda dan sesekali ngobrolin Mas CS. Merasa risih karena sejak tadi diikuti mbak penjaganya (emang kita punya tampang maling??), kita pun berhenti di depan salah satu rak obat2an dan bercanda di situ. Mbak2 itu masih berdiri di sebelahku sambil senyum2 dengan entengnya. “Apa ada yang salah dengan kita?” pikirku sambil mencermati dandanan kami yang terbilang cukup slengean dan sama sekali gag modis or stylish, tapi paling tidak kami tak bertampang teroris karena jilbab kami tak ada cadarnya.

Saat kita tengah bercanda, tiba2 mataku tertuju pada salah satu obat yang ada di rak depan kami. “Eh, ini obat orang dewasa yang biasanya aku lihat di minimarket dekat kost kita,” bisikku pada Nadia sambil menunjuk obat tersebut. “Kenapa kamu bilang obatnya orang dewasa?” Nadia juga ikut-ikutan berbisik padaku. “Lihat aja gambarnya, ada 2 orang dewasa berdekatan kayak gitu … apa namanya kalau bukan obat orang dewasa? Mungkin obat itu untuk penambah nafsu, biar tambah ‘syiiip’ gitu kalo lagi ‘main’.” Dan seterusnya, kami tetap berbisik-bisik. “Halaah …, sok tahu kamu. Kayak pernah nyoba aja.” “Emang gag pernah, tapi lihat gambarnya aja otakku langsung lari ke arah sana.”

“Terus, menurutmu ini juga sama?” bisik Nadia sambil menunjuk salah satu product lagi. Sekilas kulihat mbak yang dari tadi di sebelah kami masih senyam-senyum gag uenak geeto. “Emm …, mungkin iya.” Tapi tiba2 mataku menangkap sebuah kata yang tidak terlalu besar tapi cukup bisa dibaca dari jarakku berdiri sekarang. Karena penasaran, akhirnya mataku menyapu semua obat2 itu tapi dengan meneliti sekilas tulisan2 yang tertera di bungkus masing2. Sama! Tulisannya sama semua. Glekk!

Ku lirik lagi mbak tersebut, kali ini senyumnya tambah lebar dan wajahnya mulai memerah karena menahan tawa. “Nad, pergi dari rak kondom ini yuk!” ajakku pada Nadia sambil berbisik, lagi. Nadia hanya mengangguk.

Kami bergegas pergi ke penitipan barang, setelah mengambil jaket, kita langsung ngacir karena malu.

‘A true story with Bekti’

By:

e-nDa d’LieR