Selasa, 01 Juni 2010


Cinta Pertama

Eps. 1

(Abu-abu Putih & Darah)

CIIITT…! CIIITT…!

BRAKK!! BRUGH!

Ugh! Kepalaku rasanya berputar, ku rasakan sakit di beberapa bagian tubuh, aku belum benar-benar tahu apa yang telah terjadi sampai mataku yang sedari tadi terkerjap-kerjap, kini melihat dengan samar sosok yang tengah terkapar di sampingku. Sesaat aku hanya terdiam, lalu otakku mulai bekerja dan menyebut bahwa sosok itu adalah … ARDAN!

Baru sekilas aku melihatnya, tapi tiba-tiba bayangan itu hilang dan dunia ini jadi gelap gulita.

***

DARAH, DARAH, dan DARAH!! Aku takut, bingung, trauma. Aku benar-benar sedang melihat warna merah yang sangat banyak. Tanah disekitarku berlumuran darah, tidak! Banjir darah tepatnya. “Dimana orang-orang?? Kenapa hanya aku yang ada di sini …?” Aku sendirian. Melihat lautan darah seperti baru saja terjadi pembantaian massal … atau mungkin kecelakaan besar-besaran. TIDAAAAAKKK …!!!

Kulihat ada seberkas cahaya masuk dalam mataku, pelan tapi pasti kucoba membuka mata yang masih terasa amat berat ini. Saat itu kudapati diriku tengah berada dalam sebuah ruangan asing yang belum pernah kulihat sebelumnya.

Krieeet…! Sesosok lelaki muda berpakaian putih-putih memasuki ruangan, sesaat aku bisa mengenali bahwa dia adalah seorang dokter. Dan kulihat dia menghampiriku.

“Jangan terlalu banyak gerak! Kau masih baru sadar.” Ucapannya menyadarkanku bahwa telah terjadi sesuatu yang gawat. “Di mana dia, Dok …?” tanyaku padanya. “Dia siapa??” dia balik bertanya, membuat hatiku semakin tak karuan. “Dia … yang tadi pagi kecelakaan bersamaku,” “Oooh … anak itu, dia ada di ruang ICU.” Dheg! Perasaanku jadi tambah kacau, “Dok, antar aku ke sana!! Aku pengen lihat keadaannya …!! Hiks …” “OK. Aku antar, tapi kumohon kamu tenang. Dan kamu harus ingat, orang luar dilarang masuk ruangan itu.” “Huuhuuuu … aku ngerti, walau hanya sampai depan pintu pun tak apa asal aku bisa lihat keadaanya. Hiks … hiks …” “Baiklah, naik ke kursi roda ini, aku akan mengantarmu.”

***

Dari kaca di pintu ruang ICU, aku dapat melihat dengan jelas sosok yang kini tengah terbaring lemah di atas ranjang dengan berbagai selang (atau mungkin kabel) yang tak kupahami apa saja kegunaannya dan tengah dipasang di hampir seluruh bagian tubuhnya. Dheg! “Nggak mungkin …” batinku sembari mengamati sosok itu lebih dalam. “Memang benar! Itu Ardan!!

Dadaku terasa sesak setelah aku benar2 paham siapa sosok yang ada di hadapanku dan melihat keadaannya yang demikian parah, seragam abu-abu puithnya masih berlumuran darah. “Dimana orang tua Ardan, Mas?” tanyaku pada Mas Deryl, dokter baik hati yang menemaniku di depan ruang ICU sejak tadi. Dia yang menyuruhku memanggil demikian, supaya tidak canggung, katanya. “Belum ada yang mengabari orang tuanya, karena kita belum dapat info tentang mereka. Kau kenal dengan Ardan atau keluarganya?” Aku hanya mengangguk lemah sambil menatap Ardan lekat-lekat.

“Jika memang kau tahu tentang mereka, bantulah kami untuk menghubungi kedua orang tuanya. Karena keadaan Ardan sudah sangat parah,” “Separah apa Mas …? Hiks … hiks … Perasaanku dari tadi tidak enak. Huuu….uuu….” “Sudahlah … tenang,” Mas Deryl berusaha menenangkanku. “Aku takkan bisa tenang sebelum Mas menceritakan bagaimana keadaan Ardan yang sesungguhnya!!” kali ini aku sudah tak mampu lagi menahan emosi.

“Dia … kehabisan banyak darah akibat benturan hebat di kepalanya. Dan sejak tadi pagi sampai sesore ini dia belum sadar. Sedangkan pihak rumah sakit sendiri tidak bisa menolong lebih dari ini, karena …” “KARENA APA??!! UANG??!! Hanya karena uang kalian memutuskan untuk tidak menolong nyawa orang?! Dimana KEMANUSIAAN KALIAN?!!” dan kali ini aku benar-benar marah. “Masalahnya bukan hanya itu, tapi … stok darah yang ada di rumah sakit ini dan sesuai dengan darahnya sudah habis,” Mas Deryl menjelaskan padaku, masih dengan nada santai, seolah tak ada hal gawat di depan kami. “Makanya kami tidak dapat bertindak lebih sebelum orang tuanya datang ke rumah sakit ini.”

“Sekarang katakan, apa golongan darahnya?!” emosiku sudah turun, tapi masih belum mereda. “AB” “Baik, ambil saja darahku. Aku juga AB. Dengan begini tidak butuh biaya, khan?” “Tidak!! Aku takkan mengijinkanmu melakukan itu! Kau tahu khan kalau orang yang baru kecelakaan lalu mendonorkan darahnya itu beresiko besar?!” “Aku nggak tahu dan nggak mau tahu. Yang ku mau hanya melihat orang yang kucintai selamat!!” Aku tersentak kaget, tanpa sadar kata-kata itu tiba-tiba keluar dari mulutku, kulihat ekspresi muka Mas Deryl berubah.

“Hhhhh …” tiba-tiba Mas Deryl menghela napas panjang, “Aku mengerti perasaanmu, setiap orang pasti menginginkan orang yang dicintainya bahagia. Dan aku akan membantu mewujudkan keinginanmu, walau sebenarnya aku tidak tega melakukan semua ini.” “Apa maksud Mas …?” tanyaku penasaran. Tapi tak ada jawaban apapun darinya …

***

MERAH! Lagi-lagi aku harus menyaksikan darah sebanyak ini, kali ini bukan mimpi, tapi darahku sendiri yang sedang mengalir memnuhi sebuah kantong plastik. Andai dia bukan Ardan, aku takkan pernah mau mendonorkan darah sebanyak ini, karena aku sendiri masih trauma melihat darah.

Aku jadi teringat kata-kata Mas Deryl tadi sebelum aku masuk ruangan ini, ”Aku mau kau terus berdoa untuk keselamatanmu, karena kau akan menghadapi sesuatu yang berat di dalam sana nanti.” Hmm … mungkin maksudnya adalah keadaan seperti ini, aku merasakannya sekarang, tubuhku melemah. Aku hampir tak mampu merasakan apa-apa lagi.

Tiba-tiba aku mengingatnya lagi, saat pertama kali mengenalnya sampai saat sebelum kecelakaan itu tiba. Ardan tetaplah Ardan yang dulu, Ardan yang cuek tapi baik hati terhadap semua teman-temannya, Ardan yang disayang banyak orang walau selalu membuat mereka kawatir karena seringnya dia kecelakaan saat naik motor, Ardan yang rese’ dan sedikit kocak, Ardan yang pemalu tiap ada cewek yang ingin kenalan dengannya, Ardan yang selalu minta ajar Bahasa Inggris dan Bahasa Jerman pada Faylla -sahabatnya-, Ardan yang teman akrabnya selalu jadi sahabatku, dan Ardan yang terlihat keren di mataku saat main bola. Semua kisah itu bergilir dalam otakku bagai pemutaran film di bioskop.

Aku ingat betul saat pertama kali dia mengajakku bercanda, itu terjadi saat kami baru naik ke kelas 3 dan aku sekelas dengannya lagi. Saat itu dia tengah bersuka cita karena mendapati teman akrabnya di kelas 1 kembali ditakdirkan sekelas dengannya, karena teman akrabnya juga sudah akrab dan sering bercanda denganku, maka diapun akhirnya turut serta dan sejak itu kami mulai akrab.

Mimpiku untuk akrab dengannya jadi kenyataan, bahkan Allah juga memudahkan jalanku untuk sekelas dengannya lagi. Tak kusangka keberuntungan ini harus berakhir, dan aku tak tahu apa penyebabnya. Hari kedua Middle Semester 1 Exam, itu adalah hari pertama dimana kita berdua mulai tidak saling sapa, bahkan aku sudah mencoba untuk bersikap biasa saja dan tetap berusaha mengakrabinya seperti biasa … tapi hasilnya nihil, dia semakin menjaga jarak dan mencuekkanku.

Selama setahun ini kucoba untuk tetap bersabar sambil berdoa semoga kelak kita berdua bisa jadi temen akrab lagi, karena bagiku meski ada rasa suka di hati, tapi jika tak bisa berteman akrab juga percuma. Untuk mendapatkan keakraban itu, aku rela menghapus perasaan sukaku padanya. Tapi makin hari kurasakan keakraban itu makin mustahil kuraih dan impianku ‘tuk bisa jadi temannya makin menggantung tinggi menjauhiku. Dan sejak saat itu pula aku berharap semoga saat acara tour a week khusus kelas 3 nanti aku dapat memperbaiki pertemanan yang telah rapuh ini, paling tidak … selama seminggu di kota Bandung, aku dapat membuatnya memperhatikan pembicaraanku, walau itu hanya sekali saja.

Dan benar saja, saat tiba di kota Bandung yang dingin dan saat itu tengah hujan, aku berhasil mengajaknya bicara seusai sholat di sebuah masjid yang megah. Apalagi di hari-hari berikutnya dia tak lagi mencuekkanku seperti dulu, walau masih susah untuk diajak ngobrol lama. Tapi paling tidak, dia masih mau membagi omongan dan guyonan ringan padaku. Meski hanya begini saja, aku sudah merasa senang karena dia mau menganggapku salah satu dari temannya.

Dan sampai sebelum kecelakaan itu terjadi, aku masih tetap bersikap baik padanya dan juga berusaha sebisa mungkin menolong tiap dia dalam kesulitan. Semua ini aku lakukan karena sikapnya sepulang tour berubah dingin lagi padaku. Kadang aku berpikir mungkin dia membenciku, karena sikap dinginnya itu hanya ditujukan padaku,. Sedangkan ke temen-temennya yang lain, terutama temen-temen cewek, biasa saja.

Jujur, kadang aku juga ingin dia bersikap biasa saja dan apa adanya padaku, bukan seperti ini. Bukan seperti orang yang sebelumnya tak saling kenal, itu sama saja membangun tembok pembatas ditengah-tengah pertemanan kita. Walau tembok tersebut tak terlihat, tapi lambat laun tembok pembatas itu bisa menebal dan membuat kita takkan bisa kembali berteman seperti dulu. Lagipula aku yakin tak mungkin dia tak mengenalku, meski aku dan dia baru akrab, tapi sedikit banyak kurasa kita berempat sudah saling mengenal satu sama lain. Yup! Kami sebenarnya memiliki 2 temen akrab lagi, Bryan dan Aad.

Aaah … sudahlah, apa yang tengah kupikirkan?” batinku. Apapun yang terjadi, aku sudah bertekad untuk sebisa mungkin menolong Ardan dengan segenap tenagaku, dan untuk saat ini hanya dengan darah ini aku dapat membantunya. Aku tak peduli apakah aku akan anemia atau bahkan mati kehabisan darah, Karena bagiku hidup Ardan lebih penting. Karena hidup Ardan adalah senyum banyak orang, terutama mereka-mereka yang mengasihinya, dan aku tak ingin merenggut senyum mereka dan menggantinya dengan raut kekhawatiran saat melihat kondisi Ardan yang seperti ini.

Aku sudah tak peduli lagi dengan segala hal yang akan terjadi padaku setelah ini, jikapun harus mati kehabisan darah, aku juga bakal mati dengan tenang karena tadi aku telah memberitahukan alamat Ardan pada Mas Deryl.

Hosh … hosh .. hosh … “Oh pliz God, ada apa ini?? ada apa denganku? Kenapa nafasku tiba-tiba ….”

Setelah itu aku benar-benar tak merasakan apapun.

***

Kucoba membuka mataku yang terasa berat, dan cahaya terang itu kian mendekat. Samar-samar kulihat sosok seorang wanita berwajah sendu dan bermata sembab terduduk lesu di samping ranjangku, “I … bu” akhirnya terucap juga kata itu setelah aku berusaha sekuat tenaga untuk menggetarkan pita suaraku. Tapi, sepertinya beliau tak menyadari bahwa aku telah sadar. “Ibu”, kucoba mengulang kata itu. Dan seketika itu kulihat beliau tersentak kaget dari lamunan panjangnya. “Lily. Kau sudah bangun, nak?” sapaan ramah beliau tak kalah dengan senyum manisnya yang terkembang, aku membalas sapaan itu hanya dengan anggukan lemah.

“Bu, bagaimana keadaan Ardan?”, ucapku tanpa sadar. “Dasar anak durhaka”, batinku, “Yang susah payah menjagaku sampai matanya sembab saja tak kutanyai bagaimana kabarnya, lha ini … malah ingin tahu keadaan orang lain.”

“Dia baik-baik saja. Bahkan sudah diperbolehkan pulang sejak 3 hari yang lalu.” “Apa Bu, pulang?? Kenapa secepat itu?” “Lho … dia sudah hampir tiga minggu dirawat di sini. Itu bukan waktu yang cepat dalam hitungan rumah sakit.” “Hah … hampir tiga minggu? Lalu berapa lama aku pingsan?” “Sekitar itu.”

Dheg! “Selama itukah aku tak sadarkan diri?” tanyaku dalam hati.

***

Hari ini genap tiga hari setelah aku sadar, dan hari ini pula aku boleh pulang. Akhirnya aku berinisiatif mampir ke rumah Ardan sebelum aku pulang ke rumah, aku ingin mengungkapkan perasaan yang selama ini telah lama ku pendam di dasar jiwa. Seenggaknya, sebelum kami sama-sama keluar kota untuk melanjutkan kuliah. Selain itu, tujuanku menemui Ardan juga untuk mengucapkan permohonan maaf atas peristiwa berdarah tiga minggu lalu yang menyebabkan kami tidak bisa menghadiri acara pengumuman dan perpisahan di sekolah. Itu semua gara-gara aku nyetir sembarangan hingga nabrak motor yang tengah dikendarai Ardan. Betapa bodohnya aku!

Tujuh menit sepulang kami dari rumah sakit, sampailah kami di rumah Ardan. Rumah berwarna kuning yang mungil dan asri, terlihat ramah dari luar. Penghuninya pun seramah suasana rumahnya. Ting tong ! Terdengar suara bel di depan pagar yang barusan kupencet. Sesosok ibu-ibu membuka pintu lalu berjalan menuju pagar yang berdiri kokoh di depanku. “Cari siapa, ya?” tanyanya begitu melihatku. “Ardan ada, Bu?” segera kukenali sosok itu adalah ibu Ardan. Aku paham betul pada keluarganya karena aku dan kedua sahabatku memang sering main bareng di rumah Ardan. “Ooo … nak Lily. Bagaimana keadaannya? Maaf ibu nggak bisa jenguk kamu setelah Ardan pulang dari rumah sakit. Mari masuk dulu”, seperti biasa, beliau tetap menyuguhkan keramahannya.

“Nggak usah, Bu. Lie hanya cari Ardan. Ardan ada??” “Wah, sayang sekali nak. Baru saja tiga jam yang lalu kereta Ardan berangkat.” “Berangkat?? Berangkat ke mana, Bu?” “Lho, memangnya Ardan dan Aad tidak memberitahu nak Lily kalau mereka mau meneruskan study di Bandung?” “Bandung? Mereka nggak mengatakan apapun, bahkan juga nggak ninggalin pesan untuk Lie. Tapi kenapa harus Bandung? Kenapa sejauh itu?” “Ibu juga tidak tahu, itu pilihan Ardan.”

Cukup lama aku terdiam, kupikir aku terlambat untuk melakukan apapun. Bahkan untuk sekedar meminta maaf pada teman baikku sendiri. Setelah ini, aku berjanji akan memanfaatkan waktu yang kumiliki dengan baik, tanpa menyia-nyiakan sedetikpun dengan menunda berbagai hal yang harus kulakukan.