Selasa, 22 Desember 2009

C. L. B. K. …??


“Nomor urut 401!”, panggil seorang polisi yang berusia 30 tahunan. Aku segera bersiap.

Jepret!

“Hhh … walau deg-degan, tapi akhirnya kelar juga,” gumamku dalam hati. Pelan tapi pasti, aku melangkah keluar dari ruang foto SIM. Dheg! Aku terkesiap, kaget. Kutatap lagi sosok yang tengah duduk di kursi ruang tunggu yang menghadap ke runag foto SIM itu dengan seksama. Kulihat sosok itu juga terkejut melihatku, tapi kemudian mengembangkan senyumnya.

“Hai!” sapaku kemudian, berusaha seramah mungkin, lalu dengan dada bergemuruh kucoba melangkah ke arahnya. Kali ini senyum manisnya lebih terkembang, “Apa kabar?” tanyanya sambil memamerkan deretan gigi putihnya dan menjabat tanganku, membuat dadaku semakin berbunyi dag dig dug dengan irama yang lumayan nge-bit, nge-hiphop malah …

“Baik,” kataku kemudian, “Kamu sendiri gimana? Ngapain disini? Bikin SIM juga?” refleks aku memberondongnya dengan beberapa pertanyaan hanya karena ingin menutupi bunyi genderang yang bertalu-talu di dadaku. “Hmm … nggak. Ini lagi nganter temen. Kamu sama siapa? Sendirian?” ucapannya yang begitu tenang dan santai terasa bagai semilir angin yang sejuk menerpa jiwaku. “Ama temen. Mau dikenalin tha?” jawabku asal, masih menutupi suasana hati. “Ah nggak. Makasih.” “Ya udah, duluan ya?” pamitku padanya, kulihat dia hanya tersenyum sambil mengangguk pelan saat aku mulai beranjak dari hadapannya.

Aku mengajak Chie, sahabatku, yang rela menemaniku bikin SIM untuk segera pulang. Saat berjalan menuju tempat parkir, kusempatkan menoleh ke arahnya, “Aku duluan ya,” pamitku sekali lagi padanya. Dan masih sama seperti tadi, dia hanya tersenyum ramah. Tapi lebih dari itu, dia tetap menatap ke arahku sampai kami menghilang di tikungan koridor yang mengarah ke tempat parkir motor.

Sebelum meninggalkan tempat parkir motor yang mulai teduh karena memang sudah sangat sore, iseng ku tatap sekeliling tempat perkir. Dan tepat di pojok tempat parkir, kulihat dia tengah memakai helm dan bersiap untuk menstarter motor tetapi pandangannya masih menatapku erat. Ah! Ku coba mengabaikannya, walau hati ini terasa berat dan meronta-ronta. Dengan sedikit paksaan, aku pun menstarter motorku dan mulai menguasai jalanan.

* * *

Masih ingatkah dulu saat kita s’lalu bersama

Menjalin cinta, satukan hasrat berdua

Manja diriku hanya ingin lihat senyum dirimu hanya untukku

Yang kini tinggal kenangan …

Bertemu, berdua …

Rasa rindu yang t’lah ada

Ketika ku ingat memory bersama

Sungguh ku terbuai dalam rindu yang haus akan cinta

Dirimu selalu kurindu”

Sebuah lagu milik Omelete mengalun riang dari handphone-ku, sengaja aku putar karena cocok dengan suasana hati saat ini.

Brukk!

Kuhempaskan tubuhku di tempat tidur kesayanganku, lama aku terbaring dan menerawang memandang langit-langit kamar yang berwarna biru muda bergambar sebuah bola besar di tengahnya, entah kenapa tiba-tiba aku teringat sesuatu.

Aku beranjak dari tempat tidur dan berjalan menuju ke arah lemari plastic warna biru tua yang terletak di pojok kamar, ku buka laci yang paling atas dan mengambil sesuatu yang tersimpan di dalamnya sejak … entah kapan tepatnya.

Setelah itu, kembali kurebahkan tubuh di ranjangku yang berseprei putih dan bermotif logo ‘Chelsea di sana-sini. Kupandangi sebuah foto yang terlindung di dalam frame warna biru dan bertekstur bola. Itu foto kenangan saat kami nonton pertandingan bola 2 tahun lalu tepatnya.

Sesaat kupandangi dua pasang orang dalam foto tersebut, ada Putri, Gilang, aku, dan Ando. Lalu pikiranku mulai menerawang ke kejadian 2 tahun lalu …

* * *

“Put, Nda, kalian nggak perlu kawatir, PR Fisika kita udah selesai semua, kalian tinggal nyalin,” ujar Deny, teman sekelasku saat aku dan Putri baru sampai di rumahnya sore itu. “Lho, kok bisa? Bukannya kita udah janjian buat ngerjain bertiga?” Putri penasaran. “Lagian, selama ini kamu khan paling anti dengan Fisika,” aku menambahkan.

“Ehm … penasaran? Makanya masuk dulu gih!” Deny mempersilakan kami masuk ke ruang tengah yang lumayan luas, lalu melewati sebuah lorong kecil yang berujung di tepi kolam. “Nah, kalian tunggulah di pondok itu,” ujarnya sambil menunjuk pondok di salah satu sudut kolam, “Aku mau manggil mereka dulu, pasti udah selesai sholat Ashar.” “Mereka?” rasa penasaranku belum terjawab karena Deny bergegas pergi meninggalkan kami tanpa menjawab pertanyaanku. Lalu aku dan Putri berjalan ke arah pondok yang penuh buku berserakan di sana-sini. “Hmm … di pondok ini enak juga, lumayan teduh,” gumamku dalam hati.

Baru beberapa saat, terdengar suara langkah kaki, sepertinya dari beberapa orang dan sedang menuju ke tempat kami. Aku menoleh, seketika mataku menangkap sesosok cowok jangkung dan berjaket sport putih yang berjalan di belakang ketiga makhluk lainnya termasuk Deny. Sosok yang berjalan dengan santai itu mendekat, lalu tersenyum dan mengulurkan tangannya padaku, “Ando.” Ku balas menjabat tangannya, “Linda”.

* * *

“Den, aku ama Gilang pulang dulu ya? Udah malam nih,” ujar Ando pada Deny. “Iya Den, aku ama Linda juga mau pulang.,” Putri juga pamitan. “Iya … Lho, memangnya Putri ama Linda udah selesai nyalinnya, kok mau pulang juga?” “Udah donk, khan ada yang bantuin. Hehehe …” candaku sambil melirik Ando yang tengah tersenyum padaku, “Sebenernya belum selesai sih, dilanjutin besok di sekolah aja. Coz, aku ama Putri mau nonton bola di Stadion Diponegoro, katanya kali ini Persewangi bakal lawan Persib,” lanjutku, kali ini serius. “Dan Ando ama Gilang bersedia nemenin plus nganter kita berdua pulang,” Putri menambahkan, “Mau ikut tha, Den?” “Nggak usah, makasih. Ntar aku malah ganggu.” “Ganggu apaan?” tanya Putri penuh selidik. “Nggak. Nggak. Udah, pulang sana! Dasar cewek-cewek gila bola.”

* * *

“Wah! Pertandingannya seru banget ya, Ndo?” ucapku sambil minta pendapat Ando. “Iya, kok tumben Persib bisa kalah semudah itu ya? 3-0 …” Ando bicara tanpa menoleh ke arahku, maklum, dia khan sedang nyetir motor. “Mau langsung pulang apa jalan-jalan dulu?” Ando menawarkan. “Jalan-jalan aja ya? Khan masih jam 8. Tapi … mau jalan-jalan kemana?” aku bingung karena baru sadar tidak begitu paham dengan kota Banyuwangi, khan masih kelas 10, dari luar kota pula, jadi baru seminggu tinggal di kota ini.

“Gimana kalau aku tunjukin suatu tempat yang indah, kamu pasti belum pernah lihat sebelumnya,” akhirnya Ando punya ide. “Apa itu?” tanyaku penasaran. “Rahasia donk … ntar juga tahu. Pegangan yang erat, ya? Aku mau ngebut biar cepet sampai.”

* * *

Kami tiba di suatu tempat yang masih asing bagiku. Kupandang sekeliling, di sebelah kanan jalan ada sebuah selat besar, sebelah kiri ada daratan yang lebih tinggi seperti suatu bagian dari sebuah gunung, batu besar di tengah jalan, biasa aja … apanya yang dia maksud dengan indah??

Setelah kami turun dari motor, Ando menggandeng tanganku, “Ikut aku!” pintanya. Dia mulai menuruni sebuah tangga dan menuju ke tempat yang tidak begitu datar tetapi lumayan lebar dan bisa dibuat duduk kira-kira 10 orang atau dibuat tiduran sekitar 5 orang, tempat itu seperti sisa bongkahan bangunan ‘entah apa’ atau mungkin itu termasuk jenis karang. Entahlah …

Ando mengulurkan tangannya padaku dan membantuku untuk turun karena tangga yang membantu kami itu bukan tangga sungguhan, melainkan seperti bebatuan besar yang tergesek air hujan selama bertahun-tahun sehingga menyerupai anak tangga dan bisa membantu setiap orang untuk naik turun di tempat itu.

“Lihat deh!” aku menoleh ke arah yang ditunjukkan Ando. “Waw…!” pekikku takjub melihat pemandangan yang ada di depanku. “Keren khan?” ujar Ando penuh keyakinan. “He’eh…” kataku kemudian, “Dari sini bintang-bintangnya kelihatan lebih indah dan perpaduannya dengan lampu-lampu kota di seberang selat terlihat mempesona. Penuh daya tarik,” ucapku mengagumi. “Hmm…, yang di seberang itu namanya Pulau Bali,” Ando memberi penjelasan.

Lama kami sama-sama membisu, asyik tenggelam dalam pikiran masing-masing. Tiba-tiba kurasakan angin malam yang mulai nggak ramah, brrrr…! Kusilangkan kedua telapak tanganku untuk mengusap-usap kedua lenganku, supaya tidak terlalu dingin. Lalu, blukk! Kontan aku langsung menoleh ke arah bahuku kemudian beralih menatap Ando yang ada di sampingku. “Pakai aja jaketku, biar nggak kedinginan,” ujarnya kemudian. “Thanks”, jawabku singkat.

“Udah malem, pulang yuk! Ntar kalau kemaleman, nggak enak sama ortu kamu.” Ando memperingatkanku. “Ya”, jawabku mantap, “Tapi kapan-kapan jalan lagi ya?”. Ando mengangguk pelan, tapi tak sedikitpun tersirat keraguan di wajahnya, “Besok malam kita keluar lagi ..., aku jemput di rumah kamu ya?”, “Ya”. Ku jawab tawaran Ando dengan penuh senyuman, entahlah … belum pernah aku merasakan sebahagia ini sebelumnya.

* * *

KRRIIIINNNGGG!!!

Woops! Aku terlonjak bangun. “Sialan! Bikin orang jantungan aja …!” makiku dalam hati saat melihat alarmku bernyanyi-nyanyi riang di atas meja biru dekat ranjangku. Lebih kaget lagi saat kulihat jarum jam yang sudah menunjukkan pukul 06.25, Oh God…! 5 menit lagi bel sekolah berbunyi. Aku bergegas mandi dan buru-buru berangkat sekolah, kuabaikan panggilan ibu di meja makan, “Pagi ini aku nggak makan!!” teriakku tanpa mendengarkan apa yang di ucapkan oleh ibuku.

Di depan rumah, aku celingak-celinguk mencari seseorang, “Tumben nggak ada, kemana sih Ardan? Biasanya jam 6 udah standby nungguin aku di sini.” Aku mulai resah, untunglah sesaat kemudian ku melihat angkot lewat depan rumah, tanpa pikir panjang lagi, aku segera naik.

* * *

“Maafin aku ya, Lin? Pliz …” rengek Ardan sambil menjejeri langkahku. Aku yang tengah berjalan menuju kantin tak menanggapinya, walau hanya dengan menoleh sekilas. Hatiku bener-bener dongkol dibuatnya, hari ini mentang-mentang ada bimbel pagi, dia ninggalin aku (sampai hampir telat dan naik angkot segala loh …), udah gitu sampai skul bilang gak sengaja-lah, takut telat-lah, yang terakhir n kebangetan, dia bilang lupa.

Aku tetep mengacuhkannya sampai-sampai semua pasang mata yang ada di kantin melihat sinis ke arahku. Kulihat dia jadi salah tingkah dilihatin begitu, akhirnya dengan berat hati aku pun menoleh ke arahnya, bukan hanya karena dia satu-satunya temen deketku, tetapi karena hatiku luluh dan iba juga melihat ekspresi lugunya yang begitu teramat sangat memohon.

“OK … aku maafin kamu, “ kataku kemudian. Kulihat wajahnya mulai sumringah lagi, “Benar??” tanyanya tak percaya sambil tetap membuntutiku dan kemudian duduk satu meja denganku. Aku masih belum menjawab pertanyaannya ketika Mbak Narni, pemilik kantin, menghampiri kami. “Mau pesen apa, Neng?” tanyanya padaku, tapi kemudian di serobot Ardan, “Seperti biasa aja, Mbak …”, “Syip … deh. Tunggu bentar ya? Bakso 2 + jus alpukat 2 khan?” kulihat Mbak Narni tersenyum nakal sok tahu kepada Ardan. Entah kenapa kali ini aku ingin melempar sepatu tepat di bibir Mbak Narni supaya tambah jontor dan gak bisa senyum-senyum gitu lagi, eneg aku ngeliatnya, mungkin coz tiap hari aku udah sering lihat pemandangan kayak gini. Enggak Mbak Narni, enggak Michella ketua kelas kami, enggak Chinta, atau Chacha, dan cewek-cewek lain di sekolah ini, semua selalu tersenyum nakal dan sok kiyut tiap ada Ardan.

Semua orang juga tahu siapa Ardan, seorang kapten sepakbola andalan sekolah dengan prestasi segudang. Sampai-sampai seisi sekolah jadi sok baik n sok kenal ama dia, apalagi para makhluk yang bernama cewek. Sikap Ardan yang bagiku udah kelewat cuek, tidak pernah mempan untuk mereka. Ardan tetep jadi pusat perhatian dimanapun dia berada, seperti saat ini contohnya. Dan salah satu efeknya adalah aku, mereka selalu membuatku merasa tak nyaman, seolah mereka semua tidak terima bila aku dekat dengan Ardan.

“Lin, kok bengong?” ucapan Ardan sontak langsung membuyarkan lamunanku, kulihat dia melambaikan telapak tangannya di depan wajahku. “Heh … nggak kok. Tadi nanya apa?” ucapku masih sedikit gugup. “Hmm … tu khan bengong? Buktinya aku nanya gak kamu dengerin,” Ardan pura-pura sewot. “Eh … maaf, tadi masih agak blank. Pardon me??” “Tadi aku nanya, beneran kamu udah maafin aku? Tapi lihat sikap kamu barusan, kayaknya aku gak perlu nanya lagi deh.” “Enak aja! Gak semudah itu buat maafin kamu. Ada syaratnya …”. “Apaan?” tanya Ardan penasaran.

“Mas Ardan … ini pesenannya tadi,” ujar Mbak Narni sambil melirikku jutek. “Ya, Mbak. Makasih,” bales Ardan ramah. Mbak Narni segera beranjak dari meja kami karena ada pelanggan lain yang minta di layani. Aku pun segera menyeruput minumanku dan mulai meneruskan obrolanku dengan Ardan yang sempet tertunda.

“Hmm … kamu inget cowok yang kemarin lusa ketemu kita di lapangan bola saat sekolah kita mengadakan pertandingan persahabatan dengan SMA 1??” tanyaku memulai pembicaraan. “Yang mana …?” Ardan coba mengingat-ingat, “Hmm …. Oh ya. Aku ingat! Anak SMA 1 yang nonton paling depan dan sebelum pertandingan dimulai sempet nyapa kamu itu khan?”. “He-ehm … bukan nyapa aku, lebih tepatnya ngelihatin kita berdua yang ada di pinggir lapangan.”

“Emang kenapa dengan cowok itu? Ehm … siapa namanya?” “Ando. Aku baru ingat kalau hari ini Chie mau menemuinya untuk membantu menyelesaikan masalahku dengannya sejak dua tahun yang lalu. Kita cegah Chie, ya? Aku gak mau dia ngungkit-ungkit kejadian yang udah berlalu, lagipula sekarang udah bukan dulu lagi. Semua udah berbeda …. Dan ada satu lagi ketakutanku, pacar Chie khan juga anak SMA 1, aku takutnya dia salah paham ntar lihat Chie ngobrol ama Ando. Tahu sendiri khan kalau Firdo itu egois? Dia bisa nglakuin apa aja tanpa pikir panjang dulu. Aku nggak mau terjadi sesuatu pada Ando …”, “Aku gak paham. To the point aja,” Ardan nyerobot kata-kataku yang belum tuntas. “Deuh! Aku khan belum selesai ngomong …” “Tapi aku gak paham! Emang kamu mau minta bantuan apa?!” “Kok jadi kamu yang sewot?! Mau dimaafin apa nggak sih? Kalau mau, ya itu syaratnya …”. “Apaan?!! Dengerin kamu ngomongin orang yang bikin kamu selama seminggu ini murung dan bengong gak jelas gitu?! Aku capek lihat kamu begini terus!!” Entah kenapa tiba-tiba emosi Ardan meluap, aku belum pernah lihat dia seperti ini sebelumnya.

Aku bener-bener gak tahu harus berbuat apa, aku hanya bisa menunduk karena sadar telah berbuat salah. “Maafkan aku,” kali ini nada bicaranya sedikit tenang, tapi masih datar dan terkesan cuek, “Aku hanya ingin kamu menjadi Linda yang seperti biasanya … Linda yang selalu terlihat ceria dan bersemangat. Bukan Linda yang selalu murung dan melamun seperti ini.”

“Maafin aku juga, Dan …. Aku bener-bener nggak tahu apa yang udah terjadi padaku …” ucapku lirih. “OK.Sekarang bilang, kamu butuh bantuan apa?” “Aku hanya pengin kamu nemenin aku ke SMA 1 untuk nemuin mereka berdua sebelum Chie cerita semuanya ke Ando.” “Baiklah, pulang sekolah langsung aku antar kamu ke sana. Sekarang kita makan dulu baksonya, ntar keburu dingin.” Aku tak menjawab, takut salah ngomong lagi. Saat mulai makan semangkuk bakso yang ada di depanku, aku berpikir dan mencermati udara yang tengah menyelubungi kami, udara dingin yang aneh, sedingin sikap Ardan padaku hari ini.

* * *

Langkahku menyusuri koridor-koridor yang ada di SMA 1, mencari tempat dimana Chie menemui Ando, tapi sejak tadi belum kutemukan dimana mereka. Sedangkan Ardan menungguku di luar gerbang.

Lama aku muter-muter sekolah ini, akhirnya yang kucari ketemu juga, mereka ada di mushola SMA 1 yang terletak di pojok gedung sekolah. Samar-samar dari jauh kulihat ada Ando yang tengah duduk di teras mushola, Chie, dan seorang cowok lagi (sepertinya Firdo) yang sama-sama berdiri dan tangannya tengah Chie gandeng sedang ngobrol bertiga. Aku pun berjalan mendekati mereka, tetapi aku salah menduga, mereka tidak tengah ngobrol. Chie bukan tengah menggandeng tangan Firdo, tetapi melerai mereka berdua.

Ada apa ini?!” tanyaku refleks saat sudah ada di dekat mereka. Kulihat mereka menoleh, tapi wajah Chie tampak panik, mungkin karena melihatku yang tiba-tiba ada di sini.

Trik apa lagi ini?!!” Firdo yang marah, kontan langsung mendorong tubuhku tanpa belas kasihan. Brukk! “Auw!” pekikku. “Linda!” Ando panik dan langsung menghampiriku yang jatuh terduduk di halaman depan mushola.

“LU PIKIR GW PERCAYA PADA TRIK SEPERTI INI, CHIE?!! GW TAHU LU SEMUA SEKONGKOL!!” Firdo tetap tak bisa mengendalikan emosinya. “Firdo, apa maksudmu?! Sekongkol apa?!” tanyaku tak terima dengan keadaan ini. Aku pun mencoba untuk berdiri, dan baru ku sadari bahwa Firdo udah kelewat marah, bener-bener marah. “PERSELINGKUHAN CHIE DAN ANDO!!”, “BODOH!! Mana mungkin mereka selingkuh!”. “DIAM!!” kulihat tangan Firdo terangkat dan sebuah tamparan bersiap mendarat ke wajahku, ketakutanku makin menjadi. Tapi, hal yang tak kusangka kembali terjadi, Ando menghalanginya. Tangan Firdo yang semula bersiap menamparku pun berubah mengepal dan sepersekian detik sebuah bogem mentah langsung mendarat di pipi kiri Ando. BUGH!!

Ando terhuyung lagi, kali ini tubuhnya menabrakku. Aku berusaha menopangnya dengan kedua tanganku, tapi aku tak mampu, hingga akhirnya kami jatuh terjerembab berdua. Saat itu, kulihat Chie yang tengah menangis langsung menggaet tangan Firdo dan menyeretnya menjauhi kami, “Maafin kami, Nda …” ucapnya lirih sambil berlalu. Aku dan Ando berusaha bangun, samar-samar ku dengar Chie tengah meyakinkan Firdo, “Pliz …, beri aku waktu untuk jelasin semuanya.” “OK. Kita ke rumah kamu.” Ku dengar nada ucapan Firdo sudah tenang.

“Kenapa kau kemari?” aku tersentak dan langsung menoleh ke arah Ando, kulihat dia tengah bersandar di tembok mushola sambil memegang pipi kirinya dan meringis kesakitan. Aku berjalan menghampirinya, “Sebelumnya maaf, tapi tak apa khan jika aku mengkhawatirkanmu?”

“Hhhhh …” Ando menghela napas sesaat, “Itu hak dan privasi semua orang,” ucapannya masih relatif datar. “Ndo, bolehkah aku pinjam bahumu lagi? Untuk kali ini saja …”. “Hmm …” jawabnya sambil mengangguk pelan, tapi kali ini sudah tak sedatar tadi.

Pelan tapi pasti, kusandarkan kepalaku di bahunya … “Hhhh…. Jadi ingat masa lalu,” ucapku dalam hati. Kupejamkan mataku perlahan, di balik kelopak mataku tergambar berbagai kejadian dua tahun lalu, semua kejadian diputar bergilir seperti bioskop dadakan. Mulai dari kejadian perkenalan aku dengan Ando yang biasa dibilang orang ‘love at first sight’, berbagai cerita lucu yang kita dapat karena hampir tiap malam keluar bareng, kejadian unik saat Putri jadian dengan Gilang, bahkan kejadian saat aku menolak peryataan cinta Ando tepat saat hari ultah kakaknya sebulan setelah aku mengenalnya. Dan beberapa kali Ando melihat aku jalan dengan pacar-pacarku, padahal menurutku itu membuatnya sakit hati, tapi di depanku dia selalu tampak tenang-tenang saja seolah tidak pernah terjadi apapun.

Dari informasi yang kudengar, dia belum pernah pacaran sejak 2 tahun yang lalu, tapi entah kenapa tiap aku dengar dia punya temen deket cewek, aku pasti jealous, sekalipun itu hanya sahabatnya. Sedangkan aku sendiri udah pacaran beberapa kali tapi tak pernah bisa punya sedikit perasaanpun terhadap pacar-pacarku. Dan selama setahun terakhir tak ada kabar tentang Ando, kupikir kami takkan ketemu lagi dan perasaan ini sudah berakhir. Ternyata aku salah, setelah seminggu lalu aku ketemu dia lagi, CLBK melandaku.

Kubuka mataku karena terlalu lelah melihat semua kejadian yang seolah menjadikanku sebagai tersangka utama. Kulirik Ando yang tengah terdiam menerawang ke arah langit yang berwarna biru cerah, entah apa yang dipikirkannya. “Ndo … terima kasih atas kebaikanmu selama ini, ya?” aku mencoba memecah keheningan. “Hmm … “ Ando hanya bergerming, posisinya sama sekali tak berubah. “Kau tahu, akhir-akhir ini aku selalu berpikir tentang indahnya hari-hariku dulu saat masih bersamamu. Malah, terkadang aku menginginkan semuanya kembali seperti dulu.”

“Kau tak boleh menyesali segala hal yang telah terjadi …” Ando mulai merespon, walau nadanya masih terkesan cuek. “Apa maksudmu?”. “Kau tak boleh menyesali perpisahan kita yang telah kau buat sendiri. Kadang kau takkan menyadari bahwa sesuatu yang telah jadi pilihan hidupmu adalah sesuatu yang terbaik. Karena dari perpisahan itu kau akan temukan banyak kebahagiaan yang selama ini kau impikan, tapi untuk saat ini kau tak perlu mencari kebahagiaan lagi, karena kebahagiaan itu telah mendampingimu melewati hari-hari yang sangat melelahkan …” .”Aku masih belum mengerti apa maksudmu.” “Kau takkan pernah mengerti sebelum kau mneyadarinya.”

Aku beranjak dari bahunya, “Mengerti tentang apa?” tanyaku masih penuh rasa penasaran, kali ini kutatap kedua matanya. Dia balas menatapku tajam, “Ternyata Chie benar, hari-harimu lebih berwarna saat bersamanya.” “Aku semakin gag paham ..., apa maksudmu?” “Ardan. Seseorang yang selalu ada di sampingmu saat kau membutuhkannya. Aku juga tahu, sejak kau putus dengan Joe awal kelas dua kemarin kau langsung jatuh hati pada Ardan karena melihat semangat dan senyumnya khan?” “Darimana kau tahu dataku sedetail itu? Pasti Chie yang ngomong …”

“Bukan, aku tahu dari diriku sendiri. Maaf, karena aku belum pernah bisa melupakan cewek pertama yang telah menyakiti dan membekukan hatiku. Tapi kau tak usah khawatir, aku masih sanggup berdiri tanpamu.” Ando menjelaskan seolah bisa membaca semua pertanyaan yang terlintas di otakku, “Kembalilah pada Ardan, karena hanya dia yang kau cari. Dan karena aku masih trauma kau lukai untuk yang kedua kalinya.”

Dheg!

Apa ini sebuah penolakan? Apa rasa sakit seperti ini yang pernah Ando rasakan saat aku mempermainkannya dengan keegoisanku dulu? Tidak!! Pasti lebih sakit dari ini! Hatiku benar-benar sakit, semua jauh dari apa yang sempat kubayangkan …. Hari-hari indah yang dulu takkan pernah kembali lagi. Rasanya aku pengin nangis …

“Hhhh …” Aku menghela napas, kucoba untuk tegar dan tetap tersenyum. Sebagai cewek, sebenernya aku gengsi ditolak dengan cara seperti ini bahkan sebeum aku bilang suka padanya. Tapi … it’s nothing, mungkin ini yang namanya karma.

“Kau tak apa khan?” kudengar nada bicara Ando sedikit cemas. “Hmm …” aku hanya menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum, berusaha untuk tetap bersikap biasa saja dan seolah tak terjadi apa-apa. “Oh ya, Ndo. Hari ini tanggal 24 September khan? Happy Birthday ya. Semoga kau bisa mendapatkan kebahagiaan yang selama ini kau cari. Dan … ini hadiah dariku.” Kukeluarkan sebungkus kotak kado warna biru tua bergaris putih dari dalam tasku, “Maaf, hanya itu yang bisa aku beri padamu, semoga kau suka,” ucapku sambil menyerahkan kado itu padanya. Kulihat senyumnya terkembang, untuk saat ini wajahnya begitu cerah.

“Oh ya, aku lupa. Aku pulang dulu ya, Ndo? Coz Ardan udah nunggu sejak tadi.” “Hmm …” dia mengangguk pasti, “Thanks atas hadiahnya ya?” Ando mengacungkan kotak kado itu ke udara, “Aku seneng banget hari ini.” Kali ini, entah dia tulus berkata demikian atau tidak. Wajahnya tanpa ekspresi, tapi senyumnya yang terkembang ceria membuatku jadi ingin tetap mengingatnya, walau dia bilang ini bukan CLBK.

Kulangakahkan kakiku meninggalkan dia yang tengah asyik dengan ‘mainan barunya’. Tapi baru 10 meter berjalan, langkahku sudah berhenti dan tubuhku kontan berbalik untuk menatapnya.

Saat itu kulihat wajahnya tengah terheran-heran melihat isi kado yang telah dibukanya, tapi belum sampai semenit, wajah itu kembali tersenyum dan mulai mengenakan jaket sport warna putih yang kuhadiahkan untuknya. Sejak dua tahun lalu, aku tahu dia sangat menginginkan jaket itu. Belum sempat dia beli, aku sudah membelinya terlebih dulu sebagai surprise hadiah ultahnya. Tapi takdir berkata lain, aku melukai dan meninggalkannya sebulan sebelum hari ultahnya tiba. Jadi selama ini jaket itu tersimpan rapi di lemari pakaianku.

Ando mulai menyadari kehadiranku, dia menoleh dan tersenyum padaku memberi isyarat tanda berterima kasih. Tapi entah mengapa untuk saat ini aku malah ingin nangis, bukan membalas senyumnya. Ando masih tak beranjak dari tempatnya berdiri, tapi matanya beralih menatap ke arah hadiah kedua yang ku selipkan di balik kartu ucapan ukuran besar yang bertuliskan

“Maafkan semua salahku selama ini, Ndo.

Semoga kau suka hadiah dariku.

Happy Birthday, kawan.”

Dia mengangkat bingkai foto itu dan menatap tajam ke arah gambar di dalamnya setelah sepersekian detik berekspresi kaget. Foto ber-frame biru dengan tekstur bola yang menjadi satu-satunya kenangan kita berempat kini kuserahkan pada Ando. Lama ia menunduk, dan sama sekali tak berpaling lagi untuk menatapku. Samar-samar kulihat setetes air jatuh dari kedua pipinya. Melihat pemandangan ini, air mataku tak dapat dibendung lagi, akupun berlari meninggalkan tempat itu menuju ke depan gerbang utama.

* * *

“Maaf, membuatmu lama menunggu …” ucapku lirih sambil menunduk. “Tak apa. Hey … kau kenapa? Nangis?” suara Ardan kali ini terdengar cemas, dia mendongakkan kepalaku sehingga aku tak dapat lagi menyembunyikan semuanya. “OK. Aku tak memaksamu untuk cerita apapun sekarang, tapi sepulang dari sini kita ke stadion dulu ya? Mumpung sepi, tenangkan hatimu di sana. Setelah hatimu tenang, kita baru pulang.” Aku hanya mengangguk lemah. Sebagai teman dekat, Ardan begitu baik dan perhatian, apa benar kata Ando bahwa Ardan suka padaku? Entahlah.

* * *

SsShhh

Kupandangi hijaunya rerumputan yang ada di depanku, tampak seperti seseorang yang berdiri teguh di atas sebuah keyakinan. Angin yang lumayan kencang sore ini sama sekali tak menggoyahkannya, mungkin karena rumput-rumput itu baru dipotong. Sama seperti manusia, jika dia sanggup melepas keindahan bayang-bayang masa lalu dan menempatkan pada bagian yang seharusnya, maka dia akan tetap mampu berdiri tegar menikmati kehidupan.

“Mau cerita sekarang?” Ardan memulai pembicaraan. “Enggak.” “Lho kenapa? Gag takut sesak napas kalau gag diungkapkan?” “Boleh pinjam bahumu … ?” tanyaku lirih. “Boleh. Pakai aja.”

Walau udah dapat ijin dari yang punya, tapi tetap saja masih canggung karena memang aku tak terbiasa begini padanya. Kucoba menyandarkan kepalaku dibahunya dan mulai menghapus rasa canggung tersebut. Mulutku sama sekali belum mengeluarkan sepatah katapun tentang kejadian yang telah membuatku menangis, tapi hati dan pikiranku mulai merasa tenang sekarang. “Hebat!” gumamku dalam hati. “Rasanya seperti saat dua tahun lalu, seperti sedang bersandar di bahu Ando, dan sama, semua pikiran-pikiran yang memberatkanku tiba-tiba hilang. Aku merasakan suatu ketenangan yang luar biasa …”, batinku di balik mata yang tengah terpejam.

Hhhh …, andai tiap hari Ardan mengijinkan aku untuk bersandar di bahunya …

bY:

e-nDa d’LieR