Selasa, 27 Oktober 2009

Cerpen 1

Too Late

Ssshhrrr!

Shou tiba di depan rumah dengan mata sembab, tapi air mata yang sejak tadi mengalir deras dari matanya tak dapat dilihat orang lain karena tubuhnya basah kuyup akibat hujan deras hari ini, napasnya tersengal-sengal setelah berlari dari sekolah sampai rumah. Shou mulai mengetuk pintu rumah, dalam keadaan setengah pusing dan sesak dia melihat ibunya membuka pintu untuk menyambut kedatangannya, tapi …

“SHOU!!” ibunya panik karena melihat tubuh Shou yang ambruk seketika.

* * *

Di balik selimut tebal tubuh Shou masih menggigil. Tapi dia tak sepenuhnya merasakan dingin, karena sakit hati atas peristiwa di sekolah tadi telah membuat sebagian tubuhnya terasa panas. Tanpa sengaja mata Shou menyorot sebuah buku tulis berwarna biru yang tengah tergeletak di meja dekat tempat tidurnya. Tangannya berusaha meraih … Dapat!

Entah apa yang terbersit di otaknya saat itu, Shou mulai menulis sesuatu …

“Dear my best friend,

Kei, forgive me …

Sebelum semuanya terlalu terlambat, aku ingin minta maaf atas beberapa kesalahan yang telah kulakukan.

Pertama, aku minta maaf karena sudah banyak bohong padamu. Terutama saat aku menerima tawaran untuk menjadi sahabatmu, sebenarnya itu bukan karena aku ingin punya sahabat cowok, tetapi karena memang dari awal masuk kelas 2 SMA aku sudah menyukaimu.

Dan seharusnya dari awal aku jujur bahwa aku sudah tidak bisa bicara lagi sejak kecelakaan di Gedung Basket waktu itu. Sebagai sahabat, aku sudah tidak adil padamu …”

* * *

Flash back

“Yippy …! Kita menang!!” sorak Naomi kegirangan. Dia, Ryu, dan Allen baru menang basket ‘3 on 3’ dari Kei, Aoi, dan Shou. Ini bukan acara resmi, setahun lalu saat masih kelas 2, mereka berenam sudah sering bermain basket saat pulang sekolah, tapi kali ini atas permintaan Shou -karena Shou merasa sudah lama tidak main bareng lagi sejak sama-sama kelas 3- mereka main basket lagi.

Shou mengambil sebotol minuman penambah ion dari dalam tasnya, sebelum sempat meminumnya, pandangan Shou menyapu sekeliling dan melihat sahabat-sahabatnya juga tengah asyik minum sambil bercanda. Shou tersenyum dan akan mulai meminum ketika minumannya direbut seseorang dan terlepas dari genggamannya. “Kei!!” Kei yang tengah asyik menikmati minuman hasil rampokannya tersebut langsung berhenti minum ketika melihat Shou sedang melototinya. “Wekk!! Telat! Minumannya udah habis”, ujar Kei sambil menjulurkan lidah ke arah Shou. Shou makin gemes pada kelakuan sahabat terdekatnya itu, kali ini dia tidak mau tinggal diam, dia kejar-kejaran dengan Kei di tangga dekat bangku penonton. “Seperti anak kecil saja ya?”, gumam Naomi pada Ryu, “Iya, mereka tidak pernah berubah. Masih sama seperti setahun lalu,” Ryu menimpali.

Tapi hal yang tak pernah mereka sadari akhirnya datang, candaan Shou dengan Kei berujung petaka. “Aaarrrggghhhh!!!!” Shou menjerit refleks saat kakinya tergelincir di tangga paling atas. Shou merasakan tubuhnya jatuh saat mendengar jeritan histeris Kei, “SHOOUUU!!!!”

BruKk!!

Sakit … Shou merasa kepalanya nyeri sekali sampai dadanya sesak dan sulit bernafas. Bukan! Bukan karena itu! Pandangan dan kesadarannya hampir buyar, tapi sekilas dia masih bisa memahami sesuatu yang jatuh tepat di atasnya, KEI! Lalu semua gelap, kesadarannya benar-benar hilang …

* * *

“Di otak Shousan ada satu bagian yang rusak?! La … lalu anakku bagaimana …?!!” “Anda tenang dulu. Kerusakan ini telah mengakibatkan anak Anda tidak bisa bicara lagi, tapi selebihnya tidak masalah, anak Anda masih bisa menulis, membaca, dan mengerti apa yang orang lain katakan.” Seorang dokter muda berambut pirang menjelaskan pada ibu Shou. “Tapi saya harap Anda bisa tegar mendengar berita yang kedua.” “Ada apa lagi, Dok?” kali ini suara beliau sedikit tenang. “Saya menemukan ada kebocoran pembuluh darah di otak anak Anda, dan sayangnya terlambat untuk disembuhkan karena ini sudah terlalu parah, jadi dioperasipun akan sangat fatal akibatnya. Dan menurut perkiraan saya, anak Anda hanya akan dapat bertahan selama satu atau dua minggu ke depan.” Kali ini ibu Shou sudah tidak dapat lagi membendung air matanya.

Dheg! “Apa?! Parah?! Seminggu?! Oh Tuhan … Adakah keajaiban untuk sakitku ini??”rengek Shou dalam hati. “TIDAK! Terlalu terlambat untuk mengharap keajaiban, Shou! Sekarang yang harus kamu lakukan adalah … keluar dari rumah sakit ini dan menikmati seminggu terakhir bersama sahabat-sahabatmu!” ujar Shou memantapkan hatinya, mencoba menerima semua kenyataan yang telah terjadi.

“Nona Shousan! Anda tidak boleh duduk di depan ruang dokter seperti itu, ayo kembali ke ruanganmu!” tegur salah seorang suster yang menanganinya. Shou mendongak dan tersenyum penuh arti padanya, dari itu Shou dapat membaca garis muka suster yang kebingungan.

* * *

Harus berjuang! Haaah … bosan aku disini terus. Aku ingin cepat masuk sekolah dan bisa bertemu teman-teman lagi”. Benar saja, 3 hari di rumah sakit ini, Shou sudah mulai merindukan sekolahnya, tempatnya bebas tertawa riang bersama sahabat-sahabatnya. “Heeeh! Kenapa aku baru sadar pagi tadi? Seharusnya dari kemarin-kemarin … karena kata ibu kemarin sohib-sohibku datang kesini, tapi aku masih belum sadar sih. Aku kangen sama mereka … apalagi Kei.”

Tok tok !

“Shou, gimana keadaanmu?” Kei muncul dari balik pintu sambil membawa sesuatu yang sangat disukai Shou, “Ini bunga anggrek buatmu, maaf hanya bisa kasih ini karena aku tidak tahu apa pantanganmu. Makanya aku tidak bisa membawa makanan.” Ujarnya sambil menyodorkan sebucket bunga anggrek dan kemudian Shou menaruhnya di meja kecil dekat ranjang rumah sakit.

Kei menatapnya lekat-lekat seperti mencari sesuatu yang aneh pada diri Shou, dia tak tahu apa yang dilakukan Kei yang setelah itu memeluknya sambil minta maaf. Shou yang terkejut, mendorongnya secara refleks sampai dia mundur beberapa langkah di depan Shou yang dipenuhi tanda tanya. “Syukurlah … kamu tidak apa-apa. Tapi luka di kepalamu itu pasti sakit karena banyak mengeluarkan darah. Maaf ya? Aku … aku nggak bisa … menangkapmu …” ucap Kei lirih. “Eh?!” Shou menatap tajam luka di pipi kanan Kei, “Itu pasti luka saat dia berusaha menolongku, untung saat itu dia jatuh tepat di atasku, kalau tidak, pasti keadaannya sama parah denganku. Tapi aku tak ingin dia tahu tentang keadaanku ini.” Sesal Shou dalam hati.

* * *

“…

Lalu aku juga ingin minta maaf tentang 2 orang cowok kuliahan itu, sebenarnya aku ingin teriak, tapi aku sudah tidak bisa bicara lagi. Terima kasih sudah ada disana untuk menolongku.

…”

* * *

Falsh back

Sudah hampir 1 jam Shou menunggu bis di halte dekat sekolahnya, udara pulang sekolah yang panas sempat membuatnya gerah, tapi Shou mencoba untuk tetap bersabar.

Brrrumm!

“Nggak gerah nih nunggu bis dari tadi?” , “Kei!” pekik Shou girang dalam hati karena memang dia tidak bisa bicara. “Aku antar pulang yuk? Mumpung nganggur nih … nanti kalau sudah punya cewek, kamu tidak bisa nebeng lagi loh …” seperti biasa, Kei menggoda Shou, tapi kali ini Shou tidak bisa membalas guyonannya. Shou hanya tersenyum dan menggeleng padanya. “OK deh kalau begitu, aku duluan ya?” sekali lagi, Shou hanya tersenyum dan mengangguk padanya.

Brrrumm!

Shou masih bisa melihatnya dari kejauhan, motor Kei melaju cukup kencang menguasai jalanan.

Brrrumm!

Ada motor lain berhenti tepat di depan Shou, dia tidak kenal siapa itu. “Hai, sendirian aja nih? Lagi nungguin bis ya?” ucap seorang cowok yang sedang turun dari motor, dan tentu Shou hanya bisa mengangguk sambil tersenyum. Tapi sepertinya mereka tidak puas atas jawabannya, ”Kenapa Cuma senyum?! Kalau ditanya itu dijawab dengan baik donk!!” , “Gawat! Dia marah …”

Sok mahal banget sih?! Memang berapa harganya satu kali main?!” ujar cowok yang satunya lagi. Hah?! “God … please help me …” doa Shou dalam hati. Dan sekali lagi dia mencoba untuk tersenyum pada mereka, berharap mereka iba dan melepaskannya, tapi harapan Shou sia-sia karena sikap mereka makin menjadi. Salah seorang dari mereka mendekap mulut Shou dan memegang erat kedua tangannya, sedangkan yang lain siap mengikat kedua kakinya ketika ada sebuah suara di sekitar halte yang dari tadi sangat sepi dan hanya ada mereka bertiga.

HeI…!!! mau apa lu ama cewek gW?! Pergi gak!!” refleks Shou menoleh pada asal suara, “KEI?! Tatapannya sereeemm banget!!”. Sekali lagi Shou senang sekaligus bingung, senang karena Kei menolong dia, bingung karena kenapa Kei kembali lagi? Padahal khan tadi sudah pulang. “Jangan bengong! Ayo aku antar pulang! Kamu tak apa khan?”, Shou hanya menggeleng.

Sepanjang perjalanan, Kei tak mengucapkan sepatah katapun. Kalaupun ya, percuma juga, Shou tak bakal bisa mengajaknya ngobrol seperti dulu lagi. Tapi sesuatu yang aneh terjadi saat mereka tiba di depan rumah Shou, “Shou, kenapa tadi kamu tidak mau teriak minta tolong? Andai tadi aku tidak kembali kesana, aku tak tahu apa yang bakal terjadi padamu. Dan aku pasti jadi orang pertama yang merasa bersalah bila itu terjadi …” ucapnya lirih tanpa menatap Shou, Kei menunduk, “Karena seminggu yang lalu aku sudah pernah mencelakaimu.”

Sekali lagi, Shou tersenyum. Karena memang hanya itu yang bisa dilakukannya. Tapi tiba-tiba, “Tapi sebenarnya aku juga ragu atas apa yang telah aku lakukan, Shou. Kamu tadi digoda cowok-cowok itu hanya tersenyum … jangan-jangan kamu sudah berubah, Shou. Atau jangan-jangan … itu sisi lain dari dirimu.” Kei menoleh dan menatap mata Shou dengan tatapan tajam, sedangkan Shou melongo dan hanya dapat bertanya dalam hati, “Uhh!! Apa maksudmu?!”. Tanpa diduga, seperti bisa membaca isi pikiran Shou, Kei menjawabnya, “Umm… maksudku kamu itu sebenarnya adalah … cewek gampangan!”

Dheg! “Bukan hanya cowok-cowok brengsek itu yang bilang begini padaku, tapi orang yang kucintai, sahabatku sendiri, juga mengatakannnya.”

Plakk! Sakit hati membuat tangan Shou terasa ringan. Saking ringannya sampai terasa mudah untuk menampar pipi Kei. Shou langsung berlari masuk rumah dengar berurai air mata, meninggalkan Kei yang memegang pipinya sambil meringis kesakitan.

* * *

“…

Aku juga minta maaf tentang kesalahpahaman yang membuat kita tadi bertengkar. Jujur, aku menyesal tidak dapat minta maaf secara langsung padamu. Andai aku masih bisa bicara …

Aku sadar aku telah bersalah karena mendekatimu, dan itu yang membuat Rosie cemburu padaku. Seharusnya dari awal, aku sudah tahu bahwa Rosie juga menyukaimu, jadi aku tak perlu berpura-pura menjadi sahabatmu dan mendekatimu sejauh ini.

…”

* * *

Flash back

Di suatu istirahat, entah darimana ide itu, tiba-tiba Shou ingin berjalan-jalan mengelilingi sekolah. Saat sampai di atas anak tangga penghubung antara kelas 3 IPA dan kelas 2 IPS, Shou berhenti karena melihat pemandangan yang sudah tak asing lagi baginya, seorang cewek tengah menolak pernyataan cinta seorang cowok. Shou menikmati pemberhentiannya karena memang kakinya sudah terlalu lelah untuk berjalan lagi.

“Hhhh….! Kata dokter kesempatanku merasakan dunia hanya tinggal hitungan minggu, bahkan hari. Tapi aku tetap harus berusaha supaya bisa hidup lebih dari ketentuan itu, atau paling tidak, meninggal dengan bahagia karena ada benyak sohib yang mencintaiku.”

“Shou, boleh minta waktunya sebentar?” kontan Shou menoleh ke asal suara yang lemah lembut itu, “Rosie?!” pekiknya. Rosie adalah salah satu cewek feminine yang suka pada Kei. Tapi dia tidak pernah tahu bahwa Kei juga suka padanya, karena Kei hanya bercerita pada Shou. Kei selalu dekat dengan Shou, Rosie pikir belum berhasil menaklukannya. Dan dia akan melakukan segala cara untuk menyingkirkan Shou dari sisi Kei, kalau sudah begitu, tak tampak lagi sisi femininnya, dia jadi terlihat seram dan ganas.

Rosie tersenyum ramah, “Aku ada sesuatu untukmu nih, “ ujarnya sambil merogoh saku bajunya. “Tapi membukanya harus nanti loh. Tunggu setelah aku pergi dari sini ya?” ucapnya masih disertai senyum keramahan. Shou tidak dapat mengartikan keramahan Rosie yang mendadak itu, belum sempat ia berpikir untuk mencerna arti semua itu, tiba-tiba dia mendengar jeritan Rosie dan melihatnya jatuh dari tangga. “Aaarrrggghhhh!!!!” Shou berusaha menolong, tapi terlambat, Rosie sudah sampai pada ujung tangga dan dikerumuni banyak orang, termasuk Kei.

Shou segera menuruni tangga dan berusaha melihat keadaan Rosie, tapi baru setengah jalan dia berhenti karena semua mata orang yang berkerumun memandang sinis ke arahnya. “Ada apa ini?” tanya Shou dalam hati. Lalu dia melihat Rosie tengah bicara sambil menunjuk ke arahnya, “DIA YANG MENDORONGKU!!!”. “Apa?! Tidak! Bukan aku!!”, bantahnya dalam hati, percuma, tak ada orang yang mampu mendengarnya.

Shou melihat mata Kei tengah menatapnya penuh amarah, seperti yang sudah pernah ia lihat sebelumnya di halte ketika menolongnya. Seram! Lalu tak lama kemudian Kei angkat bicara, “Aku menyesal sudah mengenalmu, dan aku menyesal mengetahui kau melakukan hal bodoh ini pada orang yang selama ini sangat spesial buatku …” Kei menghentikan ucapannya dan bernapas sebentar, “Kalau kau memang ingin menjadi sahabatku, seharusnya kau tahu apa yang seharusnya kau lakukan … OK, lakukanlah pembantahan itu jika memang kau benar, jangan abaikan kepercayaanku.” Kei berusaha sebijak mungkin menghakimi sahabatnya sendiri di depan gadis yang sangat disukainya sejak dulu.

5 menit … , 10 menit … ,waktu berlalu tanpa ada pembicaraan apapun dari Shou, dia pun berusaha pasrah dengan semua hal yang bakal terjadi. “Aku sudah cukup lama memberikanmu waktu untuk membantah, tetapi karena kau tidak juga mengatakannya, aku anggap semuanya selesai. Termasuk persahabatan kita!! Jangan pernah muncul dihadapanku lagi!!”
Dheg!

Tubuh Shou seketika kaku dan tidak bisa melakukan apapun, dia masih menatap punggung Kei yang menggendong Rosie dan dia melihat Rosie tersenyum puas kepadanya sampai mereka menghilang di tikungan koridor depan ruang Kepala Sekolah.

Seketika semua warga sekolah yang berkerumun jadi ikutan bubar dengan berbagai ekspresi, ada yang marah, kecewa, bisik-bisik penuh dengki dan dendam, sampai yang tanpa ekspresi pun juga nampak. Shou mengusap air mata yang mulai menetes membasahi pipinya, sesaat dalam waktu yang bersamaan, hujan tiba-tiba turun deras. Shou masih mematung di tangga ketika mengingat sesuatu, kertas tadi. Benar, Shou yang penasaran dengan isi kertas itu kini mulai membukanya, perlahan tapi pasti.

“Terima kasih telah repot-repot berpartisipasi dengan sandiwaraku.

Oh…kacian. Ternyata rencanaku menyingkirkanmu telah berjalan lancar. Hahaha…!

Memang seharusnya begitu, khan??

Kau tahu Shousan, aku sangat menyukainya! Sama seperti aku menyukai rencana busukku ini …

Hmm… walau dibilang kejam, tapi meraih cinta bisa dengan cara apapun khan?

Sekali lagi aku berterima kasih karena kau telah mau menyerahkan Kei untukku.

Dan aku harap mulai detik ini kau tak lagi mendekati Kei.

J

From U’re eternal rival.”

Shou yang sudah tak bisa membendung air mata, segera berlari ke arah lapangan dan membiarkan hujan membasahinya. Dia menangis sejadi-jadinya, lagipula, takkan ada yang menegurnya di saat begini karena KBM memang sedang berlangsung. Tapi di luar dugaan, ternyata Naomi melihat dan menghampirinya, “Shou, sedang apa kau?!”. Refleks Shou menoleh ke arah Naomi, dan Naomi menangkap sesuatu dari tatapan itu. “Apakah telah terjadi sesuatu?! Ayo kita menepi!! Bukankah kau tak boleh kehujanan?!! Ceritalah padaku!!”

Tapi kali ini di luar dugaan Naomi, Shou malah berlari keluar gerbang depan sekolah, menerjang hujan yang mengguyur kotanya itu. Sedangkan Naomi yang telah ditinggalkannya hanya bengong di bawah guyuran hujan menatap kelakuan sohibnya yang benar-benar semakin aneh. “Seperti bukan Shou yang biasanya bersamaku …” gumam Naomi lirih.

* * *

“…

Aku masih ingat saat pertama kali memergokimu sedang bermain biola dengan sembunyi-sembunyi, saat itu kau memberiku 1 permintaan dan kau berjanji suatu saat akan melakukan apapun yang aku minta, asalkan aku tidak mengatakan pada siapapun bahwa dulu sebenarnya kau adalah pemain biola. Sekarang aku akan menggunakan 1 permintaan itu, tolong mainkan L’Adieu karya Chopin untuk saat-saat terakhirku, semoga kau tak terlambat untuk itu …

Sekali lagi aku minta maaf padamu, Kei. Dan terima kasih atas semua yang telah kau berikan selama ini. Tetaplah jadi sahabatku untuk selamanya, Makkei Akizuki.

Take care,

Shousan Aryurie

* * *

Setelah memasukkan selembar surat tersebut dalam amplop, Shou mulai menyadari sesuatu dan membuatnya tersentak kaget. Ada apa ini? Kenapa aku menulis sesuatu yang tidak berharga seperti ini? Ah! Aku harus memusnahkannya, aku tak ingin ada yang melihatnya.” Shou mengambil korek api dari laci meja, tapi sesuatu yang aneh terjadi lagi. Tangannya terlalu gemetar untuk melakukan sesuatu, apalagi membakar surat yang ada di tangannya tersebut. Makin lama, bukan hanya tangannya yang gemetar, tapi juga seluruh tubuhnya seperti tak lagi kuat menopang dirinya sendiri. Sesaat kemudian, Shou ambruk.

* * *

BUGH!

Kei jatuh terjerembab di lapangan basket setelah mendapatkan 1 bogem mentah dari Aoi. “Aoi, sudah cukup!!” bentak Allen saat melihat sohibnya itu berusaha memukul Kei lagi. Kei bangkit sambil meringis memegang pipinya yang lebam dan ujung kanan bibirnya yang berdarah.

“Mau sampai kapan kau begini terus, Kei? OK. Rosie memang suka sama kamu, dan kamupun demikian. Tapi apa kamu tahu bahwa sebenarnya ada motif lain di balik cintanya itu?”, Ryu berusaha menjelaskan, tapi Kei menyerobot kata-katanya, “Kalian yang punya motif tersembunyi di balik persahabatan ini!”. “Apa maksudmu Kei?!!” kali ini Aoi yang dari tadi sudah emosi jadi tambah ngamuk. “Ya! Kalian berteman denganku hanya untuk numpang tenar karena popularitasku sebagai model dan kapten sepak bola andalan sekolah ini! Buktinya sekarang aku ada masalah dengan Shou, kalian malah membelanya, bukan aku. Padahal sudah jelas dia yang salah…” BUGH!!

Kei terhuyung, kali ini pipi kirinya yang jadi sasaran emosi Aoi. “SIALAN!! KUBUNUH KAU AOI!!” kali ini emosi Kei juga ikut meledak-ledak. Tapi Ryu dan Allen yang sudah menduga semua bakal tambah parah, segera melerai keduanya. Ryu memegang tangan Aoi yang emosinya masih meluap-luap, sedangkan Allen memegang kedua tangan Kei seraya berjalan keluar dari lapangan basket dengan berusaha sebisa mungkin mengendalikan emosinya.

“Dengarkan aku Kei! Walau ini untuk terakhir kalinya,” ujar Allen dengan nada sedatar mungkin saat mereka sampai di luar lapangan basket. “Mau apa kau?! Bukannya kau juga dipihak mereka?!!”. “Kau benar! Tapi kau juga sahabat kami, jadi aku tak ingin kau menyesal suatu saat nanti. Dengar! Sebenarnya tujuan kami ke sini hanya untuk memberimu ini,” Allen merogoh saku celana seragamnya.

* * *

Kei menatap sebuah surat beramplop biru yang kini ada di genggamannya, surat dari Allen barusan. Lalu ia ingat kata-kata terakhir sebelum Allen meninggalkannya tadi, “Ini bukan titipan, tapi aku rasa kau wajib tahu apa isinya karena surat ini dtujukan untukmu. Dan maaf, aku sudah membacanya”, ujar Allen lirih. Kemudian dia melanjutkan kalimatnya, “Dengar! Kami tidak pernah menganggapmu seperti apa yang telah kau katakana tadi, kami tulus bersahabat denganmu. Dan sampai kapanpun kamu tetap sahabat kami berlima. Oh ya, ada 2 hal yang ingin aku sampaikan padamu. Pertama, sejak dulu aku mencintai Rosie.” Dheg! Kei sontak menatap tajam ke mata Allen.

“Sorry, Kei. Tapi ini bukan penghianatan, karena saat SMP dulu Rosie pernah pacaran denganku dan sampai saat ini perasaan itu masih ada. Yang kedua, selama yang aku tahu, Rosie ternyata pacaran dengan aku, kamu, atau cowok-cowok lain itu karena dia tahu kita anak orang kaya. Dengan kata lain, matre. Ah… tapi sudahlah, lupakan. Aku tak mau bertele-tele lagi, baca surat itu dan pikirkan dengan matang apa yang akan kau lakukan setelahnya, dan kalau kau berubah pikiran, datanglah ke alamat ini. Semoga kau belum terlambat …” setelah menyerahkan selembar kertas bertuliskan sebuah alamat rumah sakit, Allen berlalu dari hadapan Kei. “Sebenarnya ada apa ini?” gumam Kei dalam hati sambil membuka surat yang tadi dia genggam dan mulai membaca isinya.

* * *

Kei tiba di ujung lorong rumah sakit yang menuju ke ruang ICU. Dari kejauhan dia melihat ketiga sahabat cowoknya tengah mencoba menenangkan Naomi dan seorang wanita lagi, siapakah gerangan?

Kei menghampiri mereka, “Nao …”. Naomi menoleh ke arah datangnya suara, “… kau … terlambat, Kei …” ujar Naomi begitu lirih di sela tangisnya. Dheg! Apa maksud semua ini? Dengan langkah gemetar Kei berusaha berjalan memasuki ruangan di depannya sambil mengumpulkan segenap kekuatan yang tersisa. Tapi tanpa disangka, kakinya terlalu lemas untuk melangkah, hingga tubuhnya ambruk seketika.

* * *

“…¯¯¯…”

Kei berhenti bermain sebelum bait terakhir lagu L’adieu habis. Dia meletakkan biolanya di samping sebuah pusara, air mata yang sejak tadi mengalir kini dia seka dengan jari-jarinya, lalu dia berjongkok di depan pusara itu. “Hhh… Maafkan aku, Shou. Aku terlambat menyadari semuanya. Kau masih bisa mendengarku dari sana khan, Shou? Shousan … aku mencintaimu. Benar-benar mencintaimu. Ah! Forget it! Oh ya, kau tahu kenapa aku berhenti bermain biola? Semua hanya karena aku menderita sirosis. Hahaha…memalukan, seorang kapten sepak bola sepertiku sakit-sakitan. Hhh… . Tapi aku merahasiakan semua ini, karena aku tidak ingin orang mengasihaniku dan menangisi kepergianku kelak.” Kei berhenti bicara dan memandang pusara di belakangnya, “Kau lihat, Shou. Di sini kau tidak sendirian, di sampingmu, terbaring mamaku yang telah pergi 10 tahun lalu karena dibunuh papaku sendiri. Aku harap kau rukun dengan beliau.”

Sesaat Kei berhenti bicara lagi dan menaburkan bunga ke pusara Shou. “Penyakit ini sudah menggerogoti tubuhku sejak 3 tahun lalu, dan kata dokter yang kemarin memeriksaku, penyakitku sudah memasuki stadium akhir. Dari dulu, dokter melarangku memegang biola lagi karena tahu aku pernah beberapa kali masuk rumah sakit gara-gara tertusuk senarnya. Seperti ini …” Kei memandang ke arah jari telunjuknya yang sejak tadi mengucurkan darah, bahkan bercaknya membuat motif di tanah kuburan.

“…. Tidak bisa di hentikan semudah itu. Darah ini akan terus mengalir. Sama seperti luka di pipiku ini, walau kejadian itu sudah 2 minggu berlalu, tapi tetap saja belum sembuh. Shou, saat tahu hidupmu tinggal menghitung hari, tentu kau merasa takut bukan? Tapi … kau bisa melewatinya dengan tegar. Hhh… Jika waktuku masih tersisa, aku berjanji untuk melewatinya dengan tegar sepertimu dan membahagiakan orang-orang di sekitarku, termasuk sahabat-sahabat kita. Minggu depan aku akan ikut pertandingan persahabatan bersama klub sepak bola. Semoga … Tuhan masih … memberiku … waktu untuk … itu ya …, Shou …” ucapan Kei semakin lirih dan tiba-tiba suaranya pun lenyap bagai ditelan angin.

Dia merasakan pusing yang begitu hebat di kepalanya, Kei juga merasakan detak jantungnya semakin melemah, dan …. BRUKK! Semua gelap …

_-_end_-_