Selasa, 22 Desember 2009

C. L. B. K. …??


“Nomor urut 401!”, panggil seorang polisi yang berusia 30 tahunan. Aku segera bersiap.

Jepret!

“Hhh … walau deg-degan, tapi akhirnya kelar juga,” gumamku dalam hati. Pelan tapi pasti, aku melangkah keluar dari ruang foto SIM. Dheg! Aku terkesiap, kaget. Kutatap lagi sosok yang tengah duduk di kursi ruang tunggu yang menghadap ke runag foto SIM itu dengan seksama. Kulihat sosok itu juga terkejut melihatku, tapi kemudian mengembangkan senyumnya.

“Hai!” sapaku kemudian, berusaha seramah mungkin, lalu dengan dada bergemuruh kucoba melangkah ke arahnya. Kali ini senyum manisnya lebih terkembang, “Apa kabar?” tanyanya sambil memamerkan deretan gigi putihnya dan menjabat tanganku, membuat dadaku semakin berbunyi dag dig dug dengan irama yang lumayan nge-bit, nge-hiphop malah …

“Baik,” kataku kemudian, “Kamu sendiri gimana? Ngapain disini? Bikin SIM juga?” refleks aku memberondongnya dengan beberapa pertanyaan hanya karena ingin menutupi bunyi genderang yang bertalu-talu di dadaku. “Hmm … nggak. Ini lagi nganter temen. Kamu sama siapa? Sendirian?” ucapannya yang begitu tenang dan santai terasa bagai semilir angin yang sejuk menerpa jiwaku. “Ama temen. Mau dikenalin tha?” jawabku asal, masih menutupi suasana hati. “Ah nggak. Makasih.” “Ya udah, duluan ya?” pamitku padanya, kulihat dia hanya tersenyum sambil mengangguk pelan saat aku mulai beranjak dari hadapannya.

Aku mengajak Chie, sahabatku, yang rela menemaniku bikin SIM untuk segera pulang. Saat berjalan menuju tempat parkir, kusempatkan menoleh ke arahnya, “Aku duluan ya,” pamitku sekali lagi padanya. Dan masih sama seperti tadi, dia hanya tersenyum ramah. Tapi lebih dari itu, dia tetap menatap ke arahku sampai kami menghilang di tikungan koridor yang mengarah ke tempat parkir motor.

Sebelum meninggalkan tempat parkir motor yang mulai teduh karena memang sudah sangat sore, iseng ku tatap sekeliling tempat perkir. Dan tepat di pojok tempat parkir, kulihat dia tengah memakai helm dan bersiap untuk menstarter motor tetapi pandangannya masih menatapku erat. Ah! Ku coba mengabaikannya, walau hati ini terasa berat dan meronta-ronta. Dengan sedikit paksaan, aku pun menstarter motorku dan mulai menguasai jalanan.

* * *

Masih ingatkah dulu saat kita s’lalu bersama

Menjalin cinta, satukan hasrat berdua

Manja diriku hanya ingin lihat senyum dirimu hanya untukku

Yang kini tinggal kenangan …

Bertemu, berdua …

Rasa rindu yang t’lah ada

Ketika ku ingat memory bersama

Sungguh ku terbuai dalam rindu yang haus akan cinta

Dirimu selalu kurindu”

Sebuah lagu milik Omelete mengalun riang dari handphone-ku, sengaja aku putar karena cocok dengan suasana hati saat ini.

Brukk!

Kuhempaskan tubuhku di tempat tidur kesayanganku, lama aku terbaring dan menerawang memandang langit-langit kamar yang berwarna biru muda bergambar sebuah bola besar di tengahnya, entah kenapa tiba-tiba aku teringat sesuatu.

Aku beranjak dari tempat tidur dan berjalan menuju ke arah lemari plastic warna biru tua yang terletak di pojok kamar, ku buka laci yang paling atas dan mengambil sesuatu yang tersimpan di dalamnya sejak … entah kapan tepatnya.

Setelah itu, kembali kurebahkan tubuh di ranjangku yang berseprei putih dan bermotif logo ‘Chelsea di sana-sini. Kupandangi sebuah foto yang terlindung di dalam frame warna biru dan bertekstur bola. Itu foto kenangan saat kami nonton pertandingan bola 2 tahun lalu tepatnya.

Sesaat kupandangi dua pasang orang dalam foto tersebut, ada Putri, Gilang, aku, dan Ando. Lalu pikiranku mulai menerawang ke kejadian 2 tahun lalu …

* * *

“Put, Nda, kalian nggak perlu kawatir, PR Fisika kita udah selesai semua, kalian tinggal nyalin,” ujar Deny, teman sekelasku saat aku dan Putri baru sampai di rumahnya sore itu. “Lho, kok bisa? Bukannya kita udah janjian buat ngerjain bertiga?” Putri penasaran. “Lagian, selama ini kamu khan paling anti dengan Fisika,” aku menambahkan.

“Ehm … penasaran? Makanya masuk dulu gih!” Deny mempersilakan kami masuk ke ruang tengah yang lumayan luas, lalu melewati sebuah lorong kecil yang berujung di tepi kolam. “Nah, kalian tunggulah di pondok itu,” ujarnya sambil menunjuk pondok di salah satu sudut kolam, “Aku mau manggil mereka dulu, pasti udah selesai sholat Ashar.” “Mereka?” rasa penasaranku belum terjawab karena Deny bergegas pergi meninggalkan kami tanpa menjawab pertanyaanku. Lalu aku dan Putri berjalan ke arah pondok yang penuh buku berserakan di sana-sini. “Hmm … di pondok ini enak juga, lumayan teduh,” gumamku dalam hati.

Baru beberapa saat, terdengar suara langkah kaki, sepertinya dari beberapa orang dan sedang menuju ke tempat kami. Aku menoleh, seketika mataku menangkap sesosok cowok jangkung dan berjaket sport putih yang berjalan di belakang ketiga makhluk lainnya termasuk Deny. Sosok yang berjalan dengan santai itu mendekat, lalu tersenyum dan mengulurkan tangannya padaku, “Ando.” Ku balas menjabat tangannya, “Linda”.

* * *

“Den, aku ama Gilang pulang dulu ya? Udah malam nih,” ujar Ando pada Deny. “Iya Den, aku ama Linda juga mau pulang.,” Putri juga pamitan. “Iya … Lho, memangnya Putri ama Linda udah selesai nyalinnya, kok mau pulang juga?” “Udah donk, khan ada yang bantuin. Hehehe …” candaku sambil melirik Ando yang tengah tersenyum padaku, “Sebenernya belum selesai sih, dilanjutin besok di sekolah aja. Coz, aku ama Putri mau nonton bola di Stadion Diponegoro, katanya kali ini Persewangi bakal lawan Persib,” lanjutku, kali ini serius. “Dan Ando ama Gilang bersedia nemenin plus nganter kita berdua pulang,” Putri menambahkan, “Mau ikut tha, Den?” “Nggak usah, makasih. Ntar aku malah ganggu.” “Ganggu apaan?” tanya Putri penuh selidik. “Nggak. Nggak. Udah, pulang sana! Dasar cewek-cewek gila bola.”

* * *

“Wah! Pertandingannya seru banget ya, Ndo?” ucapku sambil minta pendapat Ando. “Iya, kok tumben Persib bisa kalah semudah itu ya? 3-0 …” Ando bicara tanpa menoleh ke arahku, maklum, dia khan sedang nyetir motor. “Mau langsung pulang apa jalan-jalan dulu?” Ando menawarkan. “Jalan-jalan aja ya? Khan masih jam 8. Tapi … mau jalan-jalan kemana?” aku bingung karena baru sadar tidak begitu paham dengan kota Banyuwangi, khan masih kelas 10, dari luar kota pula, jadi baru seminggu tinggal di kota ini.

“Gimana kalau aku tunjukin suatu tempat yang indah, kamu pasti belum pernah lihat sebelumnya,” akhirnya Ando punya ide. “Apa itu?” tanyaku penasaran. “Rahasia donk … ntar juga tahu. Pegangan yang erat, ya? Aku mau ngebut biar cepet sampai.”

* * *

Kami tiba di suatu tempat yang masih asing bagiku. Kupandang sekeliling, di sebelah kanan jalan ada sebuah selat besar, sebelah kiri ada daratan yang lebih tinggi seperti suatu bagian dari sebuah gunung, batu besar di tengah jalan, biasa aja … apanya yang dia maksud dengan indah??

Setelah kami turun dari motor, Ando menggandeng tanganku, “Ikut aku!” pintanya. Dia mulai menuruni sebuah tangga dan menuju ke tempat yang tidak begitu datar tetapi lumayan lebar dan bisa dibuat duduk kira-kira 10 orang atau dibuat tiduran sekitar 5 orang, tempat itu seperti sisa bongkahan bangunan ‘entah apa’ atau mungkin itu termasuk jenis karang. Entahlah …

Ando mengulurkan tangannya padaku dan membantuku untuk turun karena tangga yang membantu kami itu bukan tangga sungguhan, melainkan seperti bebatuan besar yang tergesek air hujan selama bertahun-tahun sehingga menyerupai anak tangga dan bisa membantu setiap orang untuk naik turun di tempat itu.

“Lihat deh!” aku menoleh ke arah yang ditunjukkan Ando. “Waw…!” pekikku takjub melihat pemandangan yang ada di depanku. “Keren khan?” ujar Ando penuh keyakinan. “He’eh…” kataku kemudian, “Dari sini bintang-bintangnya kelihatan lebih indah dan perpaduannya dengan lampu-lampu kota di seberang selat terlihat mempesona. Penuh daya tarik,” ucapku mengagumi. “Hmm…, yang di seberang itu namanya Pulau Bali,” Ando memberi penjelasan.

Lama kami sama-sama membisu, asyik tenggelam dalam pikiran masing-masing. Tiba-tiba kurasakan angin malam yang mulai nggak ramah, brrrr…! Kusilangkan kedua telapak tanganku untuk mengusap-usap kedua lenganku, supaya tidak terlalu dingin. Lalu, blukk! Kontan aku langsung menoleh ke arah bahuku kemudian beralih menatap Ando yang ada di sampingku. “Pakai aja jaketku, biar nggak kedinginan,” ujarnya kemudian. “Thanks”, jawabku singkat.

“Udah malem, pulang yuk! Ntar kalau kemaleman, nggak enak sama ortu kamu.” Ando memperingatkanku. “Ya”, jawabku mantap, “Tapi kapan-kapan jalan lagi ya?”. Ando mengangguk pelan, tapi tak sedikitpun tersirat keraguan di wajahnya, “Besok malam kita keluar lagi ..., aku jemput di rumah kamu ya?”, “Ya”. Ku jawab tawaran Ando dengan penuh senyuman, entahlah … belum pernah aku merasakan sebahagia ini sebelumnya.

* * *

KRRIIIINNNGGG!!!

Woops! Aku terlonjak bangun. “Sialan! Bikin orang jantungan aja …!” makiku dalam hati saat melihat alarmku bernyanyi-nyanyi riang di atas meja biru dekat ranjangku. Lebih kaget lagi saat kulihat jarum jam yang sudah menunjukkan pukul 06.25, Oh God…! 5 menit lagi bel sekolah berbunyi. Aku bergegas mandi dan buru-buru berangkat sekolah, kuabaikan panggilan ibu di meja makan, “Pagi ini aku nggak makan!!” teriakku tanpa mendengarkan apa yang di ucapkan oleh ibuku.

Di depan rumah, aku celingak-celinguk mencari seseorang, “Tumben nggak ada, kemana sih Ardan? Biasanya jam 6 udah standby nungguin aku di sini.” Aku mulai resah, untunglah sesaat kemudian ku melihat angkot lewat depan rumah, tanpa pikir panjang lagi, aku segera naik.

* * *

“Maafin aku ya, Lin? Pliz …” rengek Ardan sambil menjejeri langkahku. Aku yang tengah berjalan menuju kantin tak menanggapinya, walau hanya dengan menoleh sekilas. Hatiku bener-bener dongkol dibuatnya, hari ini mentang-mentang ada bimbel pagi, dia ninggalin aku (sampai hampir telat dan naik angkot segala loh …), udah gitu sampai skul bilang gak sengaja-lah, takut telat-lah, yang terakhir n kebangetan, dia bilang lupa.

Aku tetep mengacuhkannya sampai-sampai semua pasang mata yang ada di kantin melihat sinis ke arahku. Kulihat dia jadi salah tingkah dilihatin begitu, akhirnya dengan berat hati aku pun menoleh ke arahnya, bukan hanya karena dia satu-satunya temen deketku, tetapi karena hatiku luluh dan iba juga melihat ekspresi lugunya yang begitu teramat sangat memohon.

“OK … aku maafin kamu, “ kataku kemudian. Kulihat wajahnya mulai sumringah lagi, “Benar??” tanyanya tak percaya sambil tetap membuntutiku dan kemudian duduk satu meja denganku. Aku masih belum menjawab pertanyaannya ketika Mbak Narni, pemilik kantin, menghampiri kami. “Mau pesen apa, Neng?” tanyanya padaku, tapi kemudian di serobot Ardan, “Seperti biasa aja, Mbak …”, “Syip … deh. Tunggu bentar ya? Bakso 2 + jus alpukat 2 khan?” kulihat Mbak Narni tersenyum nakal sok tahu kepada Ardan. Entah kenapa kali ini aku ingin melempar sepatu tepat di bibir Mbak Narni supaya tambah jontor dan gak bisa senyum-senyum gitu lagi, eneg aku ngeliatnya, mungkin coz tiap hari aku udah sering lihat pemandangan kayak gini. Enggak Mbak Narni, enggak Michella ketua kelas kami, enggak Chinta, atau Chacha, dan cewek-cewek lain di sekolah ini, semua selalu tersenyum nakal dan sok kiyut tiap ada Ardan.

Semua orang juga tahu siapa Ardan, seorang kapten sepakbola andalan sekolah dengan prestasi segudang. Sampai-sampai seisi sekolah jadi sok baik n sok kenal ama dia, apalagi para makhluk yang bernama cewek. Sikap Ardan yang bagiku udah kelewat cuek, tidak pernah mempan untuk mereka. Ardan tetep jadi pusat perhatian dimanapun dia berada, seperti saat ini contohnya. Dan salah satu efeknya adalah aku, mereka selalu membuatku merasa tak nyaman, seolah mereka semua tidak terima bila aku dekat dengan Ardan.

“Lin, kok bengong?” ucapan Ardan sontak langsung membuyarkan lamunanku, kulihat dia melambaikan telapak tangannya di depan wajahku. “Heh … nggak kok. Tadi nanya apa?” ucapku masih sedikit gugup. “Hmm … tu khan bengong? Buktinya aku nanya gak kamu dengerin,” Ardan pura-pura sewot. “Eh … maaf, tadi masih agak blank. Pardon me??” “Tadi aku nanya, beneran kamu udah maafin aku? Tapi lihat sikap kamu barusan, kayaknya aku gak perlu nanya lagi deh.” “Enak aja! Gak semudah itu buat maafin kamu. Ada syaratnya …”. “Apaan?” tanya Ardan penasaran.

“Mas Ardan … ini pesenannya tadi,” ujar Mbak Narni sambil melirikku jutek. “Ya, Mbak. Makasih,” bales Ardan ramah. Mbak Narni segera beranjak dari meja kami karena ada pelanggan lain yang minta di layani. Aku pun segera menyeruput minumanku dan mulai meneruskan obrolanku dengan Ardan yang sempet tertunda.

“Hmm … kamu inget cowok yang kemarin lusa ketemu kita di lapangan bola saat sekolah kita mengadakan pertandingan persahabatan dengan SMA 1??” tanyaku memulai pembicaraan. “Yang mana …?” Ardan coba mengingat-ingat, “Hmm …. Oh ya. Aku ingat! Anak SMA 1 yang nonton paling depan dan sebelum pertandingan dimulai sempet nyapa kamu itu khan?”. “He-ehm … bukan nyapa aku, lebih tepatnya ngelihatin kita berdua yang ada di pinggir lapangan.”

“Emang kenapa dengan cowok itu? Ehm … siapa namanya?” “Ando. Aku baru ingat kalau hari ini Chie mau menemuinya untuk membantu menyelesaikan masalahku dengannya sejak dua tahun yang lalu. Kita cegah Chie, ya? Aku gak mau dia ngungkit-ungkit kejadian yang udah berlalu, lagipula sekarang udah bukan dulu lagi. Semua udah berbeda …. Dan ada satu lagi ketakutanku, pacar Chie khan juga anak SMA 1, aku takutnya dia salah paham ntar lihat Chie ngobrol ama Ando. Tahu sendiri khan kalau Firdo itu egois? Dia bisa nglakuin apa aja tanpa pikir panjang dulu. Aku nggak mau terjadi sesuatu pada Ando …”, “Aku gak paham. To the point aja,” Ardan nyerobot kata-kataku yang belum tuntas. “Deuh! Aku khan belum selesai ngomong …” “Tapi aku gak paham! Emang kamu mau minta bantuan apa?!” “Kok jadi kamu yang sewot?! Mau dimaafin apa nggak sih? Kalau mau, ya itu syaratnya …”. “Apaan?!! Dengerin kamu ngomongin orang yang bikin kamu selama seminggu ini murung dan bengong gak jelas gitu?! Aku capek lihat kamu begini terus!!” Entah kenapa tiba-tiba emosi Ardan meluap, aku belum pernah lihat dia seperti ini sebelumnya.

Aku bener-bener gak tahu harus berbuat apa, aku hanya bisa menunduk karena sadar telah berbuat salah. “Maafkan aku,” kali ini nada bicaranya sedikit tenang, tapi masih datar dan terkesan cuek, “Aku hanya ingin kamu menjadi Linda yang seperti biasanya … Linda yang selalu terlihat ceria dan bersemangat. Bukan Linda yang selalu murung dan melamun seperti ini.”

“Maafin aku juga, Dan …. Aku bener-bener nggak tahu apa yang udah terjadi padaku …” ucapku lirih. “OK.Sekarang bilang, kamu butuh bantuan apa?” “Aku hanya pengin kamu nemenin aku ke SMA 1 untuk nemuin mereka berdua sebelum Chie cerita semuanya ke Ando.” “Baiklah, pulang sekolah langsung aku antar kamu ke sana. Sekarang kita makan dulu baksonya, ntar keburu dingin.” Aku tak menjawab, takut salah ngomong lagi. Saat mulai makan semangkuk bakso yang ada di depanku, aku berpikir dan mencermati udara yang tengah menyelubungi kami, udara dingin yang aneh, sedingin sikap Ardan padaku hari ini.

* * *

Langkahku menyusuri koridor-koridor yang ada di SMA 1, mencari tempat dimana Chie menemui Ando, tapi sejak tadi belum kutemukan dimana mereka. Sedangkan Ardan menungguku di luar gerbang.

Lama aku muter-muter sekolah ini, akhirnya yang kucari ketemu juga, mereka ada di mushola SMA 1 yang terletak di pojok gedung sekolah. Samar-samar dari jauh kulihat ada Ando yang tengah duduk di teras mushola, Chie, dan seorang cowok lagi (sepertinya Firdo) yang sama-sama berdiri dan tangannya tengah Chie gandeng sedang ngobrol bertiga. Aku pun berjalan mendekati mereka, tetapi aku salah menduga, mereka tidak tengah ngobrol. Chie bukan tengah menggandeng tangan Firdo, tetapi melerai mereka berdua.

Ada apa ini?!” tanyaku refleks saat sudah ada di dekat mereka. Kulihat mereka menoleh, tapi wajah Chie tampak panik, mungkin karena melihatku yang tiba-tiba ada di sini.

Trik apa lagi ini?!!” Firdo yang marah, kontan langsung mendorong tubuhku tanpa belas kasihan. Brukk! “Auw!” pekikku. “Linda!” Ando panik dan langsung menghampiriku yang jatuh terduduk di halaman depan mushola.

“LU PIKIR GW PERCAYA PADA TRIK SEPERTI INI, CHIE?!! GW TAHU LU SEMUA SEKONGKOL!!” Firdo tetap tak bisa mengendalikan emosinya. “Firdo, apa maksudmu?! Sekongkol apa?!” tanyaku tak terima dengan keadaan ini. Aku pun mencoba untuk berdiri, dan baru ku sadari bahwa Firdo udah kelewat marah, bener-bener marah. “PERSELINGKUHAN CHIE DAN ANDO!!”, “BODOH!! Mana mungkin mereka selingkuh!”. “DIAM!!” kulihat tangan Firdo terangkat dan sebuah tamparan bersiap mendarat ke wajahku, ketakutanku makin menjadi. Tapi, hal yang tak kusangka kembali terjadi, Ando menghalanginya. Tangan Firdo yang semula bersiap menamparku pun berubah mengepal dan sepersekian detik sebuah bogem mentah langsung mendarat di pipi kiri Ando. BUGH!!

Ando terhuyung lagi, kali ini tubuhnya menabrakku. Aku berusaha menopangnya dengan kedua tanganku, tapi aku tak mampu, hingga akhirnya kami jatuh terjerembab berdua. Saat itu, kulihat Chie yang tengah menangis langsung menggaet tangan Firdo dan menyeretnya menjauhi kami, “Maafin kami, Nda …” ucapnya lirih sambil berlalu. Aku dan Ando berusaha bangun, samar-samar ku dengar Chie tengah meyakinkan Firdo, “Pliz …, beri aku waktu untuk jelasin semuanya.” “OK. Kita ke rumah kamu.” Ku dengar nada ucapan Firdo sudah tenang.

“Kenapa kau kemari?” aku tersentak dan langsung menoleh ke arah Ando, kulihat dia tengah bersandar di tembok mushola sambil memegang pipi kirinya dan meringis kesakitan. Aku berjalan menghampirinya, “Sebelumnya maaf, tapi tak apa khan jika aku mengkhawatirkanmu?”

“Hhhhh …” Ando menghela napas sesaat, “Itu hak dan privasi semua orang,” ucapannya masih relatif datar. “Ndo, bolehkah aku pinjam bahumu lagi? Untuk kali ini saja …”. “Hmm …” jawabnya sambil mengangguk pelan, tapi kali ini sudah tak sedatar tadi.

Pelan tapi pasti, kusandarkan kepalaku di bahunya … “Hhhh…. Jadi ingat masa lalu,” ucapku dalam hati. Kupejamkan mataku perlahan, di balik kelopak mataku tergambar berbagai kejadian dua tahun lalu, semua kejadian diputar bergilir seperti bioskop dadakan. Mulai dari kejadian perkenalan aku dengan Ando yang biasa dibilang orang ‘love at first sight’, berbagai cerita lucu yang kita dapat karena hampir tiap malam keluar bareng, kejadian unik saat Putri jadian dengan Gilang, bahkan kejadian saat aku menolak peryataan cinta Ando tepat saat hari ultah kakaknya sebulan setelah aku mengenalnya. Dan beberapa kali Ando melihat aku jalan dengan pacar-pacarku, padahal menurutku itu membuatnya sakit hati, tapi di depanku dia selalu tampak tenang-tenang saja seolah tidak pernah terjadi apapun.

Dari informasi yang kudengar, dia belum pernah pacaran sejak 2 tahun yang lalu, tapi entah kenapa tiap aku dengar dia punya temen deket cewek, aku pasti jealous, sekalipun itu hanya sahabatnya. Sedangkan aku sendiri udah pacaran beberapa kali tapi tak pernah bisa punya sedikit perasaanpun terhadap pacar-pacarku. Dan selama setahun terakhir tak ada kabar tentang Ando, kupikir kami takkan ketemu lagi dan perasaan ini sudah berakhir. Ternyata aku salah, setelah seminggu lalu aku ketemu dia lagi, CLBK melandaku.

Kubuka mataku karena terlalu lelah melihat semua kejadian yang seolah menjadikanku sebagai tersangka utama. Kulirik Ando yang tengah terdiam menerawang ke arah langit yang berwarna biru cerah, entah apa yang dipikirkannya. “Ndo … terima kasih atas kebaikanmu selama ini, ya?” aku mencoba memecah keheningan. “Hmm … “ Ando hanya bergerming, posisinya sama sekali tak berubah. “Kau tahu, akhir-akhir ini aku selalu berpikir tentang indahnya hari-hariku dulu saat masih bersamamu. Malah, terkadang aku menginginkan semuanya kembali seperti dulu.”

“Kau tak boleh menyesali segala hal yang telah terjadi …” Ando mulai merespon, walau nadanya masih terkesan cuek. “Apa maksudmu?”. “Kau tak boleh menyesali perpisahan kita yang telah kau buat sendiri. Kadang kau takkan menyadari bahwa sesuatu yang telah jadi pilihan hidupmu adalah sesuatu yang terbaik. Karena dari perpisahan itu kau akan temukan banyak kebahagiaan yang selama ini kau impikan, tapi untuk saat ini kau tak perlu mencari kebahagiaan lagi, karena kebahagiaan itu telah mendampingimu melewati hari-hari yang sangat melelahkan …” .”Aku masih belum mengerti apa maksudmu.” “Kau takkan pernah mengerti sebelum kau mneyadarinya.”

Aku beranjak dari bahunya, “Mengerti tentang apa?” tanyaku masih penuh rasa penasaran, kali ini kutatap kedua matanya. Dia balas menatapku tajam, “Ternyata Chie benar, hari-harimu lebih berwarna saat bersamanya.” “Aku semakin gag paham ..., apa maksudmu?” “Ardan. Seseorang yang selalu ada di sampingmu saat kau membutuhkannya. Aku juga tahu, sejak kau putus dengan Joe awal kelas dua kemarin kau langsung jatuh hati pada Ardan karena melihat semangat dan senyumnya khan?” “Darimana kau tahu dataku sedetail itu? Pasti Chie yang ngomong …”

“Bukan, aku tahu dari diriku sendiri. Maaf, karena aku belum pernah bisa melupakan cewek pertama yang telah menyakiti dan membekukan hatiku. Tapi kau tak usah khawatir, aku masih sanggup berdiri tanpamu.” Ando menjelaskan seolah bisa membaca semua pertanyaan yang terlintas di otakku, “Kembalilah pada Ardan, karena hanya dia yang kau cari. Dan karena aku masih trauma kau lukai untuk yang kedua kalinya.”

Dheg!

Apa ini sebuah penolakan? Apa rasa sakit seperti ini yang pernah Ando rasakan saat aku mempermainkannya dengan keegoisanku dulu? Tidak!! Pasti lebih sakit dari ini! Hatiku benar-benar sakit, semua jauh dari apa yang sempat kubayangkan …. Hari-hari indah yang dulu takkan pernah kembali lagi. Rasanya aku pengin nangis …

“Hhhh …” Aku menghela napas, kucoba untuk tegar dan tetap tersenyum. Sebagai cewek, sebenernya aku gengsi ditolak dengan cara seperti ini bahkan sebeum aku bilang suka padanya. Tapi … it’s nothing, mungkin ini yang namanya karma.

“Kau tak apa khan?” kudengar nada bicara Ando sedikit cemas. “Hmm …” aku hanya menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum, berusaha untuk tetap bersikap biasa saja dan seolah tak terjadi apa-apa. “Oh ya, Ndo. Hari ini tanggal 24 September khan? Happy Birthday ya. Semoga kau bisa mendapatkan kebahagiaan yang selama ini kau cari. Dan … ini hadiah dariku.” Kukeluarkan sebungkus kotak kado warna biru tua bergaris putih dari dalam tasku, “Maaf, hanya itu yang bisa aku beri padamu, semoga kau suka,” ucapku sambil menyerahkan kado itu padanya. Kulihat senyumnya terkembang, untuk saat ini wajahnya begitu cerah.

“Oh ya, aku lupa. Aku pulang dulu ya, Ndo? Coz Ardan udah nunggu sejak tadi.” “Hmm …” dia mengangguk pasti, “Thanks atas hadiahnya ya?” Ando mengacungkan kotak kado itu ke udara, “Aku seneng banget hari ini.” Kali ini, entah dia tulus berkata demikian atau tidak. Wajahnya tanpa ekspresi, tapi senyumnya yang terkembang ceria membuatku jadi ingin tetap mengingatnya, walau dia bilang ini bukan CLBK.

Kulangakahkan kakiku meninggalkan dia yang tengah asyik dengan ‘mainan barunya’. Tapi baru 10 meter berjalan, langkahku sudah berhenti dan tubuhku kontan berbalik untuk menatapnya.

Saat itu kulihat wajahnya tengah terheran-heran melihat isi kado yang telah dibukanya, tapi belum sampai semenit, wajah itu kembali tersenyum dan mulai mengenakan jaket sport warna putih yang kuhadiahkan untuknya. Sejak dua tahun lalu, aku tahu dia sangat menginginkan jaket itu. Belum sempat dia beli, aku sudah membelinya terlebih dulu sebagai surprise hadiah ultahnya. Tapi takdir berkata lain, aku melukai dan meninggalkannya sebulan sebelum hari ultahnya tiba. Jadi selama ini jaket itu tersimpan rapi di lemari pakaianku.

Ando mulai menyadari kehadiranku, dia menoleh dan tersenyum padaku memberi isyarat tanda berterima kasih. Tapi entah mengapa untuk saat ini aku malah ingin nangis, bukan membalas senyumnya. Ando masih tak beranjak dari tempatnya berdiri, tapi matanya beralih menatap ke arah hadiah kedua yang ku selipkan di balik kartu ucapan ukuran besar yang bertuliskan

“Maafkan semua salahku selama ini, Ndo.

Semoga kau suka hadiah dariku.

Happy Birthday, kawan.”

Dia mengangkat bingkai foto itu dan menatap tajam ke arah gambar di dalamnya setelah sepersekian detik berekspresi kaget. Foto ber-frame biru dengan tekstur bola yang menjadi satu-satunya kenangan kita berempat kini kuserahkan pada Ando. Lama ia menunduk, dan sama sekali tak berpaling lagi untuk menatapku. Samar-samar kulihat setetes air jatuh dari kedua pipinya. Melihat pemandangan ini, air mataku tak dapat dibendung lagi, akupun berlari meninggalkan tempat itu menuju ke depan gerbang utama.

* * *

“Maaf, membuatmu lama menunggu …” ucapku lirih sambil menunduk. “Tak apa. Hey … kau kenapa? Nangis?” suara Ardan kali ini terdengar cemas, dia mendongakkan kepalaku sehingga aku tak dapat lagi menyembunyikan semuanya. “OK. Aku tak memaksamu untuk cerita apapun sekarang, tapi sepulang dari sini kita ke stadion dulu ya? Mumpung sepi, tenangkan hatimu di sana. Setelah hatimu tenang, kita baru pulang.” Aku hanya mengangguk lemah. Sebagai teman dekat, Ardan begitu baik dan perhatian, apa benar kata Ando bahwa Ardan suka padaku? Entahlah.

* * *

SsShhh

Kupandangi hijaunya rerumputan yang ada di depanku, tampak seperti seseorang yang berdiri teguh di atas sebuah keyakinan. Angin yang lumayan kencang sore ini sama sekali tak menggoyahkannya, mungkin karena rumput-rumput itu baru dipotong. Sama seperti manusia, jika dia sanggup melepas keindahan bayang-bayang masa lalu dan menempatkan pada bagian yang seharusnya, maka dia akan tetap mampu berdiri tegar menikmati kehidupan.

“Mau cerita sekarang?” Ardan memulai pembicaraan. “Enggak.” “Lho kenapa? Gag takut sesak napas kalau gag diungkapkan?” “Boleh pinjam bahumu … ?” tanyaku lirih. “Boleh. Pakai aja.”

Walau udah dapat ijin dari yang punya, tapi tetap saja masih canggung karena memang aku tak terbiasa begini padanya. Kucoba menyandarkan kepalaku dibahunya dan mulai menghapus rasa canggung tersebut. Mulutku sama sekali belum mengeluarkan sepatah katapun tentang kejadian yang telah membuatku menangis, tapi hati dan pikiranku mulai merasa tenang sekarang. “Hebat!” gumamku dalam hati. “Rasanya seperti saat dua tahun lalu, seperti sedang bersandar di bahu Ando, dan sama, semua pikiran-pikiran yang memberatkanku tiba-tiba hilang. Aku merasakan suatu ketenangan yang luar biasa …”, batinku di balik mata yang tengah terpejam.

Hhhh …, andai tiap hari Ardan mengijinkan aku untuk bersandar di bahunya …

bY:

e-nDa d’LieR

Selasa, 27 Oktober 2009

Cerpen 1

Too Late

Ssshhrrr!

Shou tiba di depan rumah dengan mata sembab, tapi air mata yang sejak tadi mengalir deras dari matanya tak dapat dilihat orang lain karena tubuhnya basah kuyup akibat hujan deras hari ini, napasnya tersengal-sengal setelah berlari dari sekolah sampai rumah. Shou mulai mengetuk pintu rumah, dalam keadaan setengah pusing dan sesak dia melihat ibunya membuka pintu untuk menyambut kedatangannya, tapi …

“SHOU!!” ibunya panik karena melihat tubuh Shou yang ambruk seketika.

* * *

Di balik selimut tebal tubuh Shou masih menggigil. Tapi dia tak sepenuhnya merasakan dingin, karena sakit hati atas peristiwa di sekolah tadi telah membuat sebagian tubuhnya terasa panas. Tanpa sengaja mata Shou menyorot sebuah buku tulis berwarna biru yang tengah tergeletak di meja dekat tempat tidurnya. Tangannya berusaha meraih … Dapat!

Entah apa yang terbersit di otaknya saat itu, Shou mulai menulis sesuatu …

“Dear my best friend,

Kei, forgive me …

Sebelum semuanya terlalu terlambat, aku ingin minta maaf atas beberapa kesalahan yang telah kulakukan.

Pertama, aku minta maaf karena sudah banyak bohong padamu. Terutama saat aku menerima tawaran untuk menjadi sahabatmu, sebenarnya itu bukan karena aku ingin punya sahabat cowok, tetapi karena memang dari awal masuk kelas 2 SMA aku sudah menyukaimu.

Dan seharusnya dari awal aku jujur bahwa aku sudah tidak bisa bicara lagi sejak kecelakaan di Gedung Basket waktu itu. Sebagai sahabat, aku sudah tidak adil padamu …”

* * *

Flash back

“Yippy …! Kita menang!!” sorak Naomi kegirangan. Dia, Ryu, dan Allen baru menang basket ‘3 on 3’ dari Kei, Aoi, dan Shou. Ini bukan acara resmi, setahun lalu saat masih kelas 2, mereka berenam sudah sering bermain basket saat pulang sekolah, tapi kali ini atas permintaan Shou -karena Shou merasa sudah lama tidak main bareng lagi sejak sama-sama kelas 3- mereka main basket lagi.

Shou mengambil sebotol minuman penambah ion dari dalam tasnya, sebelum sempat meminumnya, pandangan Shou menyapu sekeliling dan melihat sahabat-sahabatnya juga tengah asyik minum sambil bercanda. Shou tersenyum dan akan mulai meminum ketika minumannya direbut seseorang dan terlepas dari genggamannya. “Kei!!” Kei yang tengah asyik menikmati minuman hasil rampokannya tersebut langsung berhenti minum ketika melihat Shou sedang melototinya. “Wekk!! Telat! Minumannya udah habis”, ujar Kei sambil menjulurkan lidah ke arah Shou. Shou makin gemes pada kelakuan sahabat terdekatnya itu, kali ini dia tidak mau tinggal diam, dia kejar-kejaran dengan Kei di tangga dekat bangku penonton. “Seperti anak kecil saja ya?”, gumam Naomi pada Ryu, “Iya, mereka tidak pernah berubah. Masih sama seperti setahun lalu,” Ryu menimpali.

Tapi hal yang tak pernah mereka sadari akhirnya datang, candaan Shou dengan Kei berujung petaka. “Aaarrrggghhhh!!!!” Shou menjerit refleks saat kakinya tergelincir di tangga paling atas. Shou merasakan tubuhnya jatuh saat mendengar jeritan histeris Kei, “SHOOUUU!!!!”

BruKk!!

Sakit … Shou merasa kepalanya nyeri sekali sampai dadanya sesak dan sulit bernafas. Bukan! Bukan karena itu! Pandangan dan kesadarannya hampir buyar, tapi sekilas dia masih bisa memahami sesuatu yang jatuh tepat di atasnya, KEI! Lalu semua gelap, kesadarannya benar-benar hilang …

* * *

“Di otak Shousan ada satu bagian yang rusak?! La … lalu anakku bagaimana …?!!” “Anda tenang dulu. Kerusakan ini telah mengakibatkan anak Anda tidak bisa bicara lagi, tapi selebihnya tidak masalah, anak Anda masih bisa menulis, membaca, dan mengerti apa yang orang lain katakan.” Seorang dokter muda berambut pirang menjelaskan pada ibu Shou. “Tapi saya harap Anda bisa tegar mendengar berita yang kedua.” “Ada apa lagi, Dok?” kali ini suara beliau sedikit tenang. “Saya menemukan ada kebocoran pembuluh darah di otak anak Anda, dan sayangnya terlambat untuk disembuhkan karena ini sudah terlalu parah, jadi dioperasipun akan sangat fatal akibatnya. Dan menurut perkiraan saya, anak Anda hanya akan dapat bertahan selama satu atau dua minggu ke depan.” Kali ini ibu Shou sudah tidak dapat lagi membendung air matanya.

Dheg! “Apa?! Parah?! Seminggu?! Oh Tuhan … Adakah keajaiban untuk sakitku ini??”rengek Shou dalam hati. “TIDAK! Terlalu terlambat untuk mengharap keajaiban, Shou! Sekarang yang harus kamu lakukan adalah … keluar dari rumah sakit ini dan menikmati seminggu terakhir bersama sahabat-sahabatmu!” ujar Shou memantapkan hatinya, mencoba menerima semua kenyataan yang telah terjadi.

“Nona Shousan! Anda tidak boleh duduk di depan ruang dokter seperti itu, ayo kembali ke ruanganmu!” tegur salah seorang suster yang menanganinya. Shou mendongak dan tersenyum penuh arti padanya, dari itu Shou dapat membaca garis muka suster yang kebingungan.

* * *

Harus berjuang! Haaah … bosan aku disini terus. Aku ingin cepat masuk sekolah dan bisa bertemu teman-teman lagi”. Benar saja, 3 hari di rumah sakit ini, Shou sudah mulai merindukan sekolahnya, tempatnya bebas tertawa riang bersama sahabat-sahabatnya. “Heeeh! Kenapa aku baru sadar pagi tadi? Seharusnya dari kemarin-kemarin … karena kata ibu kemarin sohib-sohibku datang kesini, tapi aku masih belum sadar sih. Aku kangen sama mereka … apalagi Kei.”

Tok tok !

“Shou, gimana keadaanmu?” Kei muncul dari balik pintu sambil membawa sesuatu yang sangat disukai Shou, “Ini bunga anggrek buatmu, maaf hanya bisa kasih ini karena aku tidak tahu apa pantanganmu. Makanya aku tidak bisa membawa makanan.” Ujarnya sambil menyodorkan sebucket bunga anggrek dan kemudian Shou menaruhnya di meja kecil dekat ranjang rumah sakit.

Kei menatapnya lekat-lekat seperti mencari sesuatu yang aneh pada diri Shou, dia tak tahu apa yang dilakukan Kei yang setelah itu memeluknya sambil minta maaf. Shou yang terkejut, mendorongnya secara refleks sampai dia mundur beberapa langkah di depan Shou yang dipenuhi tanda tanya. “Syukurlah … kamu tidak apa-apa. Tapi luka di kepalamu itu pasti sakit karena banyak mengeluarkan darah. Maaf ya? Aku … aku nggak bisa … menangkapmu …” ucap Kei lirih. “Eh?!” Shou menatap tajam luka di pipi kanan Kei, “Itu pasti luka saat dia berusaha menolongku, untung saat itu dia jatuh tepat di atasku, kalau tidak, pasti keadaannya sama parah denganku. Tapi aku tak ingin dia tahu tentang keadaanku ini.” Sesal Shou dalam hati.

* * *

“…

Lalu aku juga ingin minta maaf tentang 2 orang cowok kuliahan itu, sebenarnya aku ingin teriak, tapi aku sudah tidak bisa bicara lagi. Terima kasih sudah ada disana untuk menolongku.

…”

* * *

Falsh back

Sudah hampir 1 jam Shou menunggu bis di halte dekat sekolahnya, udara pulang sekolah yang panas sempat membuatnya gerah, tapi Shou mencoba untuk tetap bersabar.

Brrrumm!

“Nggak gerah nih nunggu bis dari tadi?” , “Kei!” pekik Shou girang dalam hati karena memang dia tidak bisa bicara. “Aku antar pulang yuk? Mumpung nganggur nih … nanti kalau sudah punya cewek, kamu tidak bisa nebeng lagi loh …” seperti biasa, Kei menggoda Shou, tapi kali ini Shou tidak bisa membalas guyonannya. Shou hanya tersenyum dan menggeleng padanya. “OK deh kalau begitu, aku duluan ya?” sekali lagi, Shou hanya tersenyum dan mengangguk padanya.

Brrrumm!

Shou masih bisa melihatnya dari kejauhan, motor Kei melaju cukup kencang menguasai jalanan.

Brrrumm!

Ada motor lain berhenti tepat di depan Shou, dia tidak kenal siapa itu. “Hai, sendirian aja nih? Lagi nungguin bis ya?” ucap seorang cowok yang sedang turun dari motor, dan tentu Shou hanya bisa mengangguk sambil tersenyum. Tapi sepertinya mereka tidak puas atas jawabannya, ”Kenapa Cuma senyum?! Kalau ditanya itu dijawab dengan baik donk!!” , “Gawat! Dia marah …”

Sok mahal banget sih?! Memang berapa harganya satu kali main?!” ujar cowok yang satunya lagi. Hah?! “God … please help me …” doa Shou dalam hati. Dan sekali lagi dia mencoba untuk tersenyum pada mereka, berharap mereka iba dan melepaskannya, tapi harapan Shou sia-sia karena sikap mereka makin menjadi. Salah seorang dari mereka mendekap mulut Shou dan memegang erat kedua tangannya, sedangkan yang lain siap mengikat kedua kakinya ketika ada sebuah suara di sekitar halte yang dari tadi sangat sepi dan hanya ada mereka bertiga.

HeI…!!! mau apa lu ama cewek gW?! Pergi gak!!” refleks Shou menoleh pada asal suara, “KEI?! Tatapannya sereeemm banget!!”. Sekali lagi Shou senang sekaligus bingung, senang karena Kei menolong dia, bingung karena kenapa Kei kembali lagi? Padahal khan tadi sudah pulang. “Jangan bengong! Ayo aku antar pulang! Kamu tak apa khan?”, Shou hanya menggeleng.

Sepanjang perjalanan, Kei tak mengucapkan sepatah katapun. Kalaupun ya, percuma juga, Shou tak bakal bisa mengajaknya ngobrol seperti dulu lagi. Tapi sesuatu yang aneh terjadi saat mereka tiba di depan rumah Shou, “Shou, kenapa tadi kamu tidak mau teriak minta tolong? Andai tadi aku tidak kembali kesana, aku tak tahu apa yang bakal terjadi padamu. Dan aku pasti jadi orang pertama yang merasa bersalah bila itu terjadi …” ucapnya lirih tanpa menatap Shou, Kei menunduk, “Karena seminggu yang lalu aku sudah pernah mencelakaimu.”

Sekali lagi, Shou tersenyum. Karena memang hanya itu yang bisa dilakukannya. Tapi tiba-tiba, “Tapi sebenarnya aku juga ragu atas apa yang telah aku lakukan, Shou. Kamu tadi digoda cowok-cowok itu hanya tersenyum … jangan-jangan kamu sudah berubah, Shou. Atau jangan-jangan … itu sisi lain dari dirimu.” Kei menoleh dan menatap mata Shou dengan tatapan tajam, sedangkan Shou melongo dan hanya dapat bertanya dalam hati, “Uhh!! Apa maksudmu?!”. Tanpa diduga, seperti bisa membaca isi pikiran Shou, Kei menjawabnya, “Umm… maksudku kamu itu sebenarnya adalah … cewek gampangan!”

Dheg! “Bukan hanya cowok-cowok brengsek itu yang bilang begini padaku, tapi orang yang kucintai, sahabatku sendiri, juga mengatakannnya.”

Plakk! Sakit hati membuat tangan Shou terasa ringan. Saking ringannya sampai terasa mudah untuk menampar pipi Kei. Shou langsung berlari masuk rumah dengar berurai air mata, meninggalkan Kei yang memegang pipinya sambil meringis kesakitan.

* * *

“…

Aku juga minta maaf tentang kesalahpahaman yang membuat kita tadi bertengkar. Jujur, aku menyesal tidak dapat minta maaf secara langsung padamu. Andai aku masih bisa bicara …

Aku sadar aku telah bersalah karena mendekatimu, dan itu yang membuat Rosie cemburu padaku. Seharusnya dari awal, aku sudah tahu bahwa Rosie juga menyukaimu, jadi aku tak perlu berpura-pura menjadi sahabatmu dan mendekatimu sejauh ini.

…”

* * *

Flash back

Di suatu istirahat, entah darimana ide itu, tiba-tiba Shou ingin berjalan-jalan mengelilingi sekolah. Saat sampai di atas anak tangga penghubung antara kelas 3 IPA dan kelas 2 IPS, Shou berhenti karena melihat pemandangan yang sudah tak asing lagi baginya, seorang cewek tengah menolak pernyataan cinta seorang cowok. Shou menikmati pemberhentiannya karena memang kakinya sudah terlalu lelah untuk berjalan lagi.

“Hhhh….! Kata dokter kesempatanku merasakan dunia hanya tinggal hitungan minggu, bahkan hari. Tapi aku tetap harus berusaha supaya bisa hidup lebih dari ketentuan itu, atau paling tidak, meninggal dengan bahagia karena ada benyak sohib yang mencintaiku.”

“Shou, boleh minta waktunya sebentar?” kontan Shou menoleh ke asal suara yang lemah lembut itu, “Rosie?!” pekiknya. Rosie adalah salah satu cewek feminine yang suka pada Kei. Tapi dia tidak pernah tahu bahwa Kei juga suka padanya, karena Kei hanya bercerita pada Shou. Kei selalu dekat dengan Shou, Rosie pikir belum berhasil menaklukannya. Dan dia akan melakukan segala cara untuk menyingkirkan Shou dari sisi Kei, kalau sudah begitu, tak tampak lagi sisi femininnya, dia jadi terlihat seram dan ganas.

Rosie tersenyum ramah, “Aku ada sesuatu untukmu nih, “ ujarnya sambil merogoh saku bajunya. “Tapi membukanya harus nanti loh. Tunggu setelah aku pergi dari sini ya?” ucapnya masih disertai senyum keramahan. Shou tidak dapat mengartikan keramahan Rosie yang mendadak itu, belum sempat ia berpikir untuk mencerna arti semua itu, tiba-tiba dia mendengar jeritan Rosie dan melihatnya jatuh dari tangga. “Aaarrrggghhhh!!!!” Shou berusaha menolong, tapi terlambat, Rosie sudah sampai pada ujung tangga dan dikerumuni banyak orang, termasuk Kei.

Shou segera menuruni tangga dan berusaha melihat keadaan Rosie, tapi baru setengah jalan dia berhenti karena semua mata orang yang berkerumun memandang sinis ke arahnya. “Ada apa ini?” tanya Shou dalam hati. Lalu dia melihat Rosie tengah bicara sambil menunjuk ke arahnya, “DIA YANG MENDORONGKU!!!”. “Apa?! Tidak! Bukan aku!!”, bantahnya dalam hati, percuma, tak ada orang yang mampu mendengarnya.

Shou melihat mata Kei tengah menatapnya penuh amarah, seperti yang sudah pernah ia lihat sebelumnya di halte ketika menolongnya. Seram! Lalu tak lama kemudian Kei angkat bicara, “Aku menyesal sudah mengenalmu, dan aku menyesal mengetahui kau melakukan hal bodoh ini pada orang yang selama ini sangat spesial buatku …” Kei menghentikan ucapannya dan bernapas sebentar, “Kalau kau memang ingin menjadi sahabatku, seharusnya kau tahu apa yang seharusnya kau lakukan … OK, lakukanlah pembantahan itu jika memang kau benar, jangan abaikan kepercayaanku.” Kei berusaha sebijak mungkin menghakimi sahabatnya sendiri di depan gadis yang sangat disukainya sejak dulu.

5 menit … , 10 menit … ,waktu berlalu tanpa ada pembicaraan apapun dari Shou, dia pun berusaha pasrah dengan semua hal yang bakal terjadi. “Aku sudah cukup lama memberikanmu waktu untuk membantah, tetapi karena kau tidak juga mengatakannya, aku anggap semuanya selesai. Termasuk persahabatan kita!! Jangan pernah muncul dihadapanku lagi!!”
Dheg!

Tubuh Shou seketika kaku dan tidak bisa melakukan apapun, dia masih menatap punggung Kei yang menggendong Rosie dan dia melihat Rosie tersenyum puas kepadanya sampai mereka menghilang di tikungan koridor depan ruang Kepala Sekolah.

Seketika semua warga sekolah yang berkerumun jadi ikutan bubar dengan berbagai ekspresi, ada yang marah, kecewa, bisik-bisik penuh dengki dan dendam, sampai yang tanpa ekspresi pun juga nampak. Shou mengusap air mata yang mulai menetes membasahi pipinya, sesaat dalam waktu yang bersamaan, hujan tiba-tiba turun deras. Shou masih mematung di tangga ketika mengingat sesuatu, kertas tadi. Benar, Shou yang penasaran dengan isi kertas itu kini mulai membukanya, perlahan tapi pasti.

“Terima kasih telah repot-repot berpartisipasi dengan sandiwaraku.

Oh…kacian. Ternyata rencanaku menyingkirkanmu telah berjalan lancar. Hahaha…!

Memang seharusnya begitu, khan??

Kau tahu Shousan, aku sangat menyukainya! Sama seperti aku menyukai rencana busukku ini …

Hmm… walau dibilang kejam, tapi meraih cinta bisa dengan cara apapun khan?

Sekali lagi aku berterima kasih karena kau telah mau menyerahkan Kei untukku.

Dan aku harap mulai detik ini kau tak lagi mendekati Kei.

J

From U’re eternal rival.”

Shou yang sudah tak bisa membendung air mata, segera berlari ke arah lapangan dan membiarkan hujan membasahinya. Dia menangis sejadi-jadinya, lagipula, takkan ada yang menegurnya di saat begini karena KBM memang sedang berlangsung. Tapi di luar dugaan, ternyata Naomi melihat dan menghampirinya, “Shou, sedang apa kau?!”. Refleks Shou menoleh ke arah Naomi, dan Naomi menangkap sesuatu dari tatapan itu. “Apakah telah terjadi sesuatu?! Ayo kita menepi!! Bukankah kau tak boleh kehujanan?!! Ceritalah padaku!!”

Tapi kali ini di luar dugaan Naomi, Shou malah berlari keluar gerbang depan sekolah, menerjang hujan yang mengguyur kotanya itu. Sedangkan Naomi yang telah ditinggalkannya hanya bengong di bawah guyuran hujan menatap kelakuan sohibnya yang benar-benar semakin aneh. “Seperti bukan Shou yang biasanya bersamaku …” gumam Naomi lirih.

* * *

“…

Aku masih ingat saat pertama kali memergokimu sedang bermain biola dengan sembunyi-sembunyi, saat itu kau memberiku 1 permintaan dan kau berjanji suatu saat akan melakukan apapun yang aku minta, asalkan aku tidak mengatakan pada siapapun bahwa dulu sebenarnya kau adalah pemain biola. Sekarang aku akan menggunakan 1 permintaan itu, tolong mainkan L’Adieu karya Chopin untuk saat-saat terakhirku, semoga kau tak terlambat untuk itu …

Sekali lagi aku minta maaf padamu, Kei. Dan terima kasih atas semua yang telah kau berikan selama ini. Tetaplah jadi sahabatku untuk selamanya, Makkei Akizuki.

Take care,

Shousan Aryurie

* * *

Setelah memasukkan selembar surat tersebut dalam amplop, Shou mulai menyadari sesuatu dan membuatnya tersentak kaget. Ada apa ini? Kenapa aku menulis sesuatu yang tidak berharga seperti ini? Ah! Aku harus memusnahkannya, aku tak ingin ada yang melihatnya.” Shou mengambil korek api dari laci meja, tapi sesuatu yang aneh terjadi lagi. Tangannya terlalu gemetar untuk melakukan sesuatu, apalagi membakar surat yang ada di tangannya tersebut. Makin lama, bukan hanya tangannya yang gemetar, tapi juga seluruh tubuhnya seperti tak lagi kuat menopang dirinya sendiri. Sesaat kemudian, Shou ambruk.

* * *

BUGH!

Kei jatuh terjerembab di lapangan basket setelah mendapatkan 1 bogem mentah dari Aoi. “Aoi, sudah cukup!!” bentak Allen saat melihat sohibnya itu berusaha memukul Kei lagi. Kei bangkit sambil meringis memegang pipinya yang lebam dan ujung kanan bibirnya yang berdarah.

“Mau sampai kapan kau begini terus, Kei? OK. Rosie memang suka sama kamu, dan kamupun demikian. Tapi apa kamu tahu bahwa sebenarnya ada motif lain di balik cintanya itu?”, Ryu berusaha menjelaskan, tapi Kei menyerobot kata-katanya, “Kalian yang punya motif tersembunyi di balik persahabatan ini!”. “Apa maksudmu Kei?!!” kali ini Aoi yang dari tadi sudah emosi jadi tambah ngamuk. “Ya! Kalian berteman denganku hanya untuk numpang tenar karena popularitasku sebagai model dan kapten sepak bola andalan sekolah ini! Buktinya sekarang aku ada masalah dengan Shou, kalian malah membelanya, bukan aku. Padahal sudah jelas dia yang salah…” BUGH!!

Kei terhuyung, kali ini pipi kirinya yang jadi sasaran emosi Aoi. “SIALAN!! KUBUNUH KAU AOI!!” kali ini emosi Kei juga ikut meledak-ledak. Tapi Ryu dan Allen yang sudah menduga semua bakal tambah parah, segera melerai keduanya. Ryu memegang tangan Aoi yang emosinya masih meluap-luap, sedangkan Allen memegang kedua tangan Kei seraya berjalan keluar dari lapangan basket dengan berusaha sebisa mungkin mengendalikan emosinya.

“Dengarkan aku Kei! Walau ini untuk terakhir kalinya,” ujar Allen dengan nada sedatar mungkin saat mereka sampai di luar lapangan basket. “Mau apa kau?! Bukannya kau juga dipihak mereka?!!”. “Kau benar! Tapi kau juga sahabat kami, jadi aku tak ingin kau menyesal suatu saat nanti. Dengar! Sebenarnya tujuan kami ke sini hanya untuk memberimu ini,” Allen merogoh saku celana seragamnya.

* * *

Kei menatap sebuah surat beramplop biru yang kini ada di genggamannya, surat dari Allen barusan. Lalu ia ingat kata-kata terakhir sebelum Allen meninggalkannya tadi, “Ini bukan titipan, tapi aku rasa kau wajib tahu apa isinya karena surat ini dtujukan untukmu. Dan maaf, aku sudah membacanya”, ujar Allen lirih. Kemudian dia melanjutkan kalimatnya, “Dengar! Kami tidak pernah menganggapmu seperti apa yang telah kau katakana tadi, kami tulus bersahabat denganmu. Dan sampai kapanpun kamu tetap sahabat kami berlima. Oh ya, ada 2 hal yang ingin aku sampaikan padamu. Pertama, sejak dulu aku mencintai Rosie.” Dheg! Kei sontak menatap tajam ke mata Allen.

“Sorry, Kei. Tapi ini bukan penghianatan, karena saat SMP dulu Rosie pernah pacaran denganku dan sampai saat ini perasaan itu masih ada. Yang kedua, selama yang aku tahu, Rosie ternyata pacaran dengan aku, kamu, atau cowok-cowok lain itu karena dia tahu kita anak orang kaya. Dengan kata lain, matre. Ah… tapi sudahlah, lupakan. Aku tak mau bertele-tele lagi, baca surat itu dan pikirkan dengan matang apa yang akan kau lakukan setelahnya, dan kalau kau berubah pikiran, datanglah ke alamat ini. Semoga kau belum terlambat …” setelah menyerahkan selembar kertas bertuliskan sebuah alamat rumah sakit, Allen berlalu dari hadapan Kei. “Sebenarnya ada apa ini?” gumam Kei dalam hati sambil membuka surat yang tadi dia genggam dan mulai membaca isinya.

* * *

Kei tiba di ujung lorong rumah sakit yang menuju ke ruang ICU. Dari kejauhan dia melihat ketiga sahabat cowoknya tengah mencoba menenangkan Naomi dan seorang wanita lagi, siapakah gerangan?

Kei menghampiri mereka, “Nao …”. Naomi menoleh ke arah datangnya suara, “… kau … terlambat, Kei …” ujar Naomi begitu lirih di sela tangisnya. Dheg! Apa maksud semua ini? Dengan langkah gemetar Kei berusaha berjalan memasuki ruangan di depannya sambil mengumpulkan segenap kekuatan yang tersisa. Tapi tanpa disangka, kakinya terlalu lemas untuk melangkah, hingga tubuhnya ambruk seketika.

* * *

“…¯¯¯…”

Kei berhenti bermain sebelum bait terakhir lagu L’adieu habis. Dia meletakkan biolanya di samping sebuah pusara, air mata yang sejak tadi mengalir kini dia seka dengan jari-jarinya, lalu dia berjongkok di depan pusara itu. “Hhh… Maafkan aku, Shou. Aku terlambat menyadari semuanya. Kau masih bisa mendengarku dari sana khan, Shou? Shousan … aku mencintaimu. Benar-benar mencintaimu. Ah! Forget it! Oh ya, kau tahu kenapa aku berhenti bermain biola? Semua hanya karena aku menderita sirosis. Hahaha…memalukan, seorang kapten sepak bola sepertiku sakit-sakitan. Hhh… . Tapi aku merahasiakan semua ini, karena aku tidak ingin orang mengasihaniku dan menangisi kepergianku kelak.” Kei berhenti bicara dan memandang pusara di belakangnya, “Kau lihat, Shou. Di sini kau tidak sendirian, di sampingmu, terbaring mamaku yang telah pergi 10 tahun lalu karena dibunuh papaku sendiri. Aku harap kau rukun dengan beliau.”

Sesaat Kei berhenti bicara lagi dan menaburkan bunga ke pusara Shou. “Penyakit ini sudah menggerogoti tubuhku sejak 3 tahun lalu, dan kata dokter yang kemarin memeriksaku, penyakitku sudah memasuki stadium akhir. Dari dulu, dokter melarangku memegang biola lagi karena tahu aku pernah beberapa kali masuk rumah sakit gara-gara tertusuk senarnya. Seperti ini …” Kei memandang ke arah jari telunjuknya yang sejak tadi mengucurkan darah, bahkan bercaknya membuat motif di tanah kuburan.

“…. Tidak bisa di hentikan semudah itu. Darah ini akan terus mengalir. Sama seperti luka di pipiku ini, walau kejadian itu sudah 2 minggu berlalu, tapi tetap saja belum sembuh. Shou, saat tahu hidupmu tinggal menghitung hari, tentu kau merasa takut bukan? Tapi … kau bisa melewatinya dengan tegar. Hhh… Jika waktuku masih tersisa, aku berjanji untuk melewatinya dengan tegar sepertimu dan membahagiakan orang-orang di sekitarku, termasuk sahabat-sahabat kita. Minggu depan aku akan ikut pertandingan persahabatan bersama klub sepak bola. Semoga … Tuhan masih … memberiku … waktu untuk … itu ya …, Shou …” ucapan Kei semakin lirih dan tiba-tiba suaranya pun lenyap bagai ditelan angin.

Dia merasakan pusing yang begitu hebat di kepalanya, Kei juga merasakan detak jantungnya semakin melemah, dan …. BRUKK! Semua gelap …

_-_end_-_